Yang Salah Kodoknya

KESALAHAN dalam hidup keseharian adalah dimensi yang mempunyai banyak sisi. Ada sekelompok orang yang begitu takut melakukan kesalahan sehingga seringkali justru tidak melakukan apa-apa. Tapi tidak sedikit yang justru menjadikan kesalahan sebagai basis untuk loncatan perbaikan diri berikutnya.

Selama kesalahan dilakukan tidak dalam rangka relationship dengan orang lain, rasanya tidak banyak masalah. Tapi bagaimana kalau kesalahan yang yang diperbuat ternyata berdampak pada orang lain yang merasakan sakitnya. Bahkan tak jarang, dampak kesalahan itu meresap begitu dalam.

Kaitan langsung dengan kesalahan tentu saja adalah permintaan maaf. Tapi minta maaf bukan masalah sederhana. Ada banyak simpul dalam saraf yang harus direfleksikan sebelumnya, seperti seberapa perlu permintaan maaf harus dilontarkan. Tapi tak sedikit orang merelakan simpul-simpul saraf bekerja lebih rileks sehingga dia dengan mudah mengucapkannya, sebaliknya memberi maaf bagi yang melakukan kesalahan.

Seberapa banyak dan cepat permintaan maaf terlontar, sepenuhnya tergantung dari kemampuan seseorang untuk mengendalikan saraf-saraf di otaknya.

Berbuat Salah

Kita sejak kanak seringkali dididik untuk tidak mengakui kesalahan yang dibuat. Contoh, ketika anak belajar jalan dan jatuh, hampir pasti banyak orang menghibur anak tersebut dengan jata-kata. Tidak mengapa, ayo bangun. Yang salah lantainya. Yang kemudian dengan sangat irrasional, orang tersebut menginjak-injak ubin. Bahkan, ada yang lebih tidak rasional lagi dengan mengatakan bahwa yang salah adalah kodok.

Anak pun melenggang dan terus berjalan. Yang artinya, si anak merasa bahwa dirinya tidak pernah melakukan kesalahan. Lebih buruk lagi, ketika anak berangkat besar, kesalahan dipindahkan kepada pengasuhnya, atau guru bahkan kepala sekolah.

Sedangkan menurut Kiyosaki, ahli perilaku investasi dari Hawaii, kesalahan harus dihadapi sebagai sebuah titik untuk maju ke tahapan yang lebih baik.

Indahnya Kata Maaf

Di Perancis, pernah ada kampanye lalu lintas berupa Tunjukkan Maaf Anda Dalam Senyum. Kampanye sederhana yang intinya, ketika kita melakukan kesalahan di jalan, lantas lempar tersenyum sembari minta maaf pada sesama pengendara atau pejalan kaki. Hasilnya cukup efektif. Terbukti tingkat stres di kalangan pengemudi kendaraan menurun. Karena biasanya pulang kerja dengan situasi stres menjadi sedikit terhibur dengan suasana tadi.

Lalu, bagaimana kalau kita mencoba untuk mengungkapkan rasa maaf untuk kesalahan yang kita buat, baik disengaja maupun tidak? Toh, permintaan maaf bukan ritualitas tahunan yang kita ucapkan menjelang Lebaran saja. Maka, apakah berarti dengan begitu kita mengorbankan diri ketika minta maaf di waktu yang bukan hari Lebaran?

Cobalah sekali saja mengucapkan permintaan maaf dengan teman terdekat dahulu. Perlihatkan ketulusan. Reaksi yang diterima pasti luar biasa. Orang yang mendapatkan permintaan maaf dari kita, pasti akan dengan serta merta mencoba memahami situasi yang tengah kita hadapi. Sehingga bukan tidak mungkin, orang tersebut akan langsung melihat dari kepentingan kita, dan memberikan beberapa saran yang membangun sesuai dengan kepentingan kita juga.

Apakah berarti harga diri drop ketika seseorang dengan rela hati menjadi bagian dari diri kita dan mencoba memahami situasi sulit yang tengah kita hadapi? Bukankah itu  yang terjadi sebaiknya, bahwa dia menganggap kita mempunyai sesuatu yang baik, sehingga mereka dengan rela hati untuk berpihak pada kita. 

Dalam budaya Jepang, seringkali permintaan maaf dianggap sebagai sebuah pondasi untuk masuk dalam pembicaraan yang lebih serius. Menurut Patty Hataway dalam Managing Upward, bahkan disebutkan bahwa permintaan maaf seolah melucuti senjata orang lain untuk tidak bisa menyerang kita dalam sebuah persoalan yang tengah kita bicarakan. Sebaliknya, permintaan maaf justru merupakan amunisi untuk masuk ke dalam pikiran seseorang tanpa bisa ditolak.

Tapi bagaimana kalau ternyata permintaan maaf kita berakhir dengan penolakan? Bukankah itu menghancurkan harga diri kita sebagai manusia? Rasanya tidak. Coba saja kalau misalnya itu terjadi di lingkungan kita. Apa yang direspon oleh lingkungan ketika seseorang tidak mau memberikan maaf? Bukankah yang dikucilkan oleh lingkungan, setidaknya mendapatkan omongan di belakang panggung adalah mereka yang sebetulnya hancur ketika permintaan maaf kita tidak diterima.

Itulah keindahan kata maaf. Dia ada dan bermakna, membesarkan hati dan meninggikan derajat pemakainya. Tapi memang praktekkan dulu dari mulai hal-hal yang kecil. Jangan tunggu kesalahan menjadi besar, baru kemudian minta maaf.

Silih Agung Wisesa (Staf pengajar London School)

Orang yang mendapatkan permintaan maaf dari kita, pasti akan dengan serta merta mencoba memahami situasi yang tengah kita hadapi. Sehingga bukan tidak mungkin, orang tersebut akan langsung melihat dari kepentingan kita, dan memberikan beberapa saran yang membangun sesuai dengan kepentingan kita juga.

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar