STROKE. "BRAINWASH" BUKAN PROSEDUR TERAPI
TANGERANG, KOMPAS – Stroke merupakan salah satu penyebab kematian utama di Indonesia. Namun, hingga kini belum ada prosedur intervensi medis untuk mencegah stroke, termasuk cuci otak atau brainwash.
Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, stroke jadi penyebab kematian utama di Indonesia dengan prevalensi 12,1 per 1.000 penduduk. Stroke merupakan gangguan fungsi saraf akibat peredaran darah di otak terganggu. Gejalanya antara lain, kelumpuhan wajah, bicara tak lancar, dan perubahan kesadaran.
Salah satu cara diagnosis stroke adalah digital subtraction angiography (DSA). Pada prosedur itu kondisi pembuluh darah pasien diperiksa dengan menyuntikkan larutan iodin ke pembuluh darah dan mendeteksi dengan sinar-X. Namun, DSA bukan prosedur pencegahan atau pun pengobatan stroke.
“Pada 2012, muncul masalah, DSA ‘naik pangkat’ dari sarana diagnosis jadi terapi, bahkan jadi sarana pencegahan stroke. Ini salah kaprah,” kata Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) Mohammad Hasan Machfoed, Minggu (8/5), pada pertemuan ilmiah nasional di Tangerang, Banten.
Prosedur DSA sebagai prevensi atau terapi stroke kini dikenal sebagai brainwash atau brainspa. “Dalam brainwash, zat yang dipakai sama dengan DSA, yakni zat heparin dan NaCl. Heparin berfungsi mencegah sumbatan pembuluh darah, dalam 2 jam keluar dari tubuh lewat urine,” ujar Wakil Ketua Kelompok Neurointervensi Perdossi Achmad Firdaus Sani.
Ketua Pokdi Neurointervensi, Fritz S Usman menambahkan, ada pemahaman salah tentang cuci otak, yakni prosedur itu bisa mencegah, mengobati, dan mencegah stroke terulang. Alasannya, zat yang dipakai dalam brainwash tak berfungsi sebagai obat, apalagi mencegah stroke.
Tak Ada Bukti Ilmiah
Sejauh ini tak ada bukti ilmiah bahwa cuci otak bisa mencegah dan mengobati stroke. Padahal, terapi harus berdasarkan bukti ilmiah demi keamanan pasien dan efektivitas terapi. “Tak ada penuntun stroke menyatakan brainwash bisa mencegah dan mengobati stroke,” ujarnya.
Selain itu, brainwash tak melewati uji klinis ini dan tanpa riset dengan biaya Rp 40 juta sampai Rp 100 juta. Sementara biaya DSA di rumah sakit swasta sekitar Rp 20 juta dan ada risiko komplikasi. “DSA tak selalu bermanfaat, tergantung kondisi klinis pasien. Prosedur ini punya potensi komplikasi seperti nyeri kepala, penurunan kesadaran dan pendarahan,” ujarnya. (C01)