Sisi Negatif Perfeksionis
Hati-hati, sikap perfeksionis yang salah sasaran justru menjadi bumerang di kemudian hari.
Namira pulang dengan wajah kecewa. Usulan program kreatif yang telah disusun matang ternyata dikalahkan dengan ide rekan kerja barunya. Kekecewaan yang tak terbendung membuatnya kehilangan konsentrasi dan sulit untuk menumbuhkan semangat lagi.
Di sela kekecewaannya, ia sadar akan satu hal. Sejak kecil, Namira tak diberi kesempatan mengenal kegagalan. Tuntutan lingkungan yang mendorongnya untuk terus menjadi juara, memang menghasilkan semangat dan ambisi yang tinggi. Ia pun tumbuh menjadi sosok yang perfeksionis. Namun di balik itu, ia sulit bernegosiasi dengan kegagalan.
Perfeksionis memang cenderung dimaknai sebagai hal yang positif. Seseorang yang perfeksionis berarti memiliki standar yang tinggi terhadap pekerjaan, serta dorongan besar untuk menggapainya. Mereka umumnya selalu menyelesaikan tugas dengan baik dan memuaskan, namun di balik itu, ternyata ada harga yang harus dibayar.
"Ibaratnya, tak jarang seseorang yang perfeksionis hanya 'menggenggam udara' saat ia akan 'meraih bintang'. Mereka pun sering mengalami masalah dalam relasi dan lingkungan dan cenderung sering mengalami perubahan suasana hati," ujar psikolog dari Department of Psychiatry and Behavioural Sciences di Standford University School of Medicine, David Burns, dalam esainya.
Di balik ambisi dan prestasi, seorang perfeksionis sering merasa tak mudah puas, tertekan, dan tidak bahagia. Perasaan ini, tambah Burns, sering juga terjadi pada seseorang yang sama sekali tak menyadari ada sisi perfeksionis dalam dirinya.
Apakah Anda termasuk memiliki kadar perfeksionisme yang berujung pada bumerang? Simak ciri-ciri berikut.
Incar Pencapaian
Seperti halnya Namira, perfeksionisme umumnya memang dimulai sejak masa kanak-kanak. Dorongan dari guru dan orangtua untuk menjadi anak yang berprestasi berlanjut hingga seseorang sampai di fase bekerja.
Akhirnya, ia tumbuh menjadi sosok yang selalu mengincar pencapaian dan berpendapat bahwa tak ada yang lebih membahagiakan dibanding membuat orang di sekitar dan diri sendiri terkesan dengan kinerjanya. Namun, kesempurnaan adalah hal yang tak mungkin teraih, bukan? Maka para perfeksionis senantiasa berpikir bahwa mereka tak kunjung sampai pada titik maksimal usaha.
"Dorongan akan kesempurnaan itu bisa berujung menyakitkan karena mereka dihantui perasaan takut jika tidak melakukan yang terbaik. Diam-diam, ini menimbulkan perasaan frustasi dan meragukan diri sendiri. Itulah yang membuat perfeksionisme menjadi pedang bermata dua," terang psikolog Monica Ramirez Basco, psikolog klinis yang memfokuskan perhatian pada cognitive-behavioural therapy, sekaligus penulis buku "Never Good Enough".
Memaksa diri
Seorang perfeksionis tahu bahwa upayanya kadang cukup menyiksa dan membuatnya harus mendorong semangat hingga batas akhir. Namun, ia merasa bahwa itu wajar sebagai cara untuk meraih kesuksesan. Pekerja tipe ini memang selalu terpacu untuk melakukan hal-hal besar demi menghindari penilaian rata-rata.
"Mereka menyadari bahwa standar tinggi yang mereka ciptakan termasuk tak masuk akal dan sering membuatnya merasa stres. Akan tetapi, mereka meyakini bahwa itulah jalan yang dapat membuat mereka mencapai nilai unggul dan produktivitas yang tinggi," terang Burns.
Jika pun seorang perfeksionis tak berprestasi tinggi, pastilah ia termasuk sosok yang gila kerja. Kelemahannya, adakalanya langkah yang ditempuh para perfeksionis untuk memenuhi ambisinya tidak selalu sehat.
Suka Menunda
Ironisnya, ambisi kuat untuk berhasil ini justru sangat berhubungan dengan perasaan takut gagal. Oleh karena itu, seorang perfeksionis umumnya adalah seorang penunda. Ia urung menyelesaikan tugas secara terburu-buru karena merasa hasilnya belum sempurna.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa sikap perfeksionis terbagi menjadi dua, yaitu perfeksionis adaptif dan maladaptif. Pemisahan ini dilatarbelakangi oleh motivasi seseorang meraih kesempurnaan.
Perfeksionis maladaptif cenderung dimotivasi oleh tuntutan lingkungan, sehingga mengakibatkan seseorang sering menunda tugas untuk meminimalkan sikap tidak setuju dari pihak lain. Sementara perfeksionis adaptif justru tidak disertai dengan sikap penunda.
Senang Mengkritik
Secara psikologis, sikap menghakimi alias judgmental merupakan sebuah mekanisme pertahanan yang umum. Seorang perfeksionis cenderung menolak banyak hal yang tak sesuai dengan apa yang mereka yakini dan berujung pada sikap diskriminatif.
Alasannya, bersikap keras dan kritis pada orang lain sedikit banyak membuat pekerja tipe ini menganggap beban yang diberikan padanya berkurang. Ini tentu bukan sikap yang baik, bukan? Bagaimana pun, lebih baik menilai kekurangan diri sendiri daripada mengurusi apa yang dilakukan orang lain.
Menghindari Risiko
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa seorang perfeksionis cenderung menghindari risiko yang dapat menghambat inovasi dan kreativitas. Sebagai contoh, ia hanya akan mengambil sebuah proyek yang ia kuasai dan yakin bisa memenangkannya. Sebaliknya, jika materi sebuah proyek tidak terlalu dikuasai dan berisiko mengalami kegagalan. Si Perfeksionis cenderung memilih untuk tidak bergabung.
Hidup baginya adalah tentang perlombaan. Ia mengincar kemenangan dan memiliki daya saing tinggi. Saat telah menetapkan sebuah target dalam hidupnya, ia akan memacu diri untuk memenuhi target tersebut. Tak heran, para perfeksionis banyak juga yang mengalami masalah dalam hal pola makan.
Menutup Diri
Peneliti Brene Brown mengibaratkan, perfeksionisme adalah sebuah tameng seberat 20 ton yang melindungi diri dari campur tangan orang sekitar. Seorang perfeksionis, mengenakan tameng itu untuk melindungi diri agar tak disakiti orang lain. Namun seiring waktu berjalan, tameng tersebut justru menghambat hubungan sosial.
Sementara Shauna Springer, seorang psikolog, mengemukakan bahwa rasa takut akan disakiti dan tidak siap menerima kegagalan membuat mereka tak ingin menjadi sorotan dan cenderung menutup diri. "Mereka merasa harus selalu kuat dan tampil dengan emosi yang sangat terkontrol. Perfeksionis, akan menghindari perbincangan mengenai ketakutan, kekurangan, dan kekecewaannya terhadap orang lain, bahkan pada orang terdekatnya," ujar Springer.
Mudah Kecewa
Hal kecil seperti masakan yang gosong akibat terlalu lama digoreng atau mengumpulkan tugas lebih dari waktu deadline, dapat membuat Si Perfeksionis merasa kecil hati dan kecewa berlebih, bahkan hingga menangis. Sikapnya yang selalu meminimalkan kesalahan membuat suasana hatinya mudah digoyahkan hanya karena kesalahan-kesalahan kecil.
"Setelah sekian lama ia memelihara harga dirinya untuk selalu menunjukkan yang terbaik, kesalahan bahkan yang sangat kecil pun bisa membuatnya rendah diri dan kecewa. Pada kesalahan yang lebih besar, mereka cenderung lebih mudah depresi," tambah Springer.
Dihantui Rasa Bersalah
Di balik itu semua, sebenarnya seorang perfeksionis, khususnya yang maladaptif, sering merasa terganggu oleh rasa bersalah dan malu. Tekanan untuk meraih kesempurnaan dan kesuksesan yang berasal dari pihak luar, identik dengan perasaan depresi, cemas, malu, dan bersalah.
Brown menyarankan, untuk menghindarinya cobalah berlatih jujur pada diri sendiri. "Biarkan orang lain melihat Anda seperti apa adanya Anda, dan lepaskan saja tameng yang menyembunyikan kekurangan Anda," sarannya.
Annelis Brilian
Menutup Diri
Peneliti Brene Brown mengibaratkan, perfeksionisme adalah sebuah tameng seberat 20 ton yang melindungi diri dari campur tangan orang sekitar. Seorang perfeksionis, mengenakan tameng itu untuk melindungi diri agar tak disakiti orang lain. Namun seiring waktu berjalan, tameng tersebut justru menghambat hubungan sosial.
Sementara Shauna Springer, seorang psikolog, mengemukakan bahwa rasa takut akan disakiti dan tidak siap menerima kegagalan membuat mereka tak ingin menjadi sorotan dan cenderung menutup diri. "Mereka merasa harus selalu kuat dan tampil dengan emosi yang sangat terkontrol. Perfeksionis, akan menghindari perbincangan mengenai ketakutan, kekurangan, dan kekecewaannya terhadap orang lain, bahkan pada orang terdekatnya," ujar Springer.
Mudah Kecewa
Hal kecil seperti masakan yang gosong akibat terlalu lama digoreng atau mengumpulkan tugas lebih dari waktu deadline, dapat membuat Si Perfeksionis merasa kecil hati dan kecewa berlebih, bahkan hingga menangis. Sikapnya yang selalu meminimalkan kesalahan membuat suasana hatinya mudah digoyahkan hanya karena kesalahan-kesalahan kecil.
"Setelah sekian lama ia memelihara harga dirinya untuk selalu menunjukkan yang terbaik, kesalahan bahkan yang sangat kecil pun bisa membuatnya rendah diri dan kecewa. Pada kesalahan yang lebih besar, mereka cenderung lebih mudah depresi," tambah Springer.
Dihantui Rasa Bersalah
Di balik itu semua, sebenarnya seorang perfeksionis, khususnya yang maladaptif, sering merasa terganggu oleh rasa bersalah dan malu. Tekanan untuk meraih kesempurnaan dan kesuksesan yang berasal dari pihak luar, identik dengan perasaan depresi, cemas, malu, dan bersalah.
Brown menyarankan, untuk menghindarinya cobalah berlatih jujur pada diri sendiri. "Biarkan orang lain melihat Anda seperti apa adanya Anda, dan lepaskan saja tameng yang menyembunyikan kekurangan Anda," sarannya.
Annelis Brilian