Terapi Hepatitis C Gagal
Pertanyaan M di J
Sekitar tiga tahun yang lalu, saya terdeteksi menderita hepatitis C. Waktu itu saya mengikuti pemeriksaan kesehatan dalam rangka melamar pekerjaan di suatu perusahaan. Saya diberi tahu bahwa saya positif menderita hepatitis C, tetapi untungnya saya boleh bekerja kontrak selama satu tahun.
Pada waktu itu, terapi hepatitis C di Indonesia sudah ada, yaitu menggunakan terapi interferon suntikan. Biaya terapi cukup mahal, sekitar Rp 100 juta. Setelah berdiskusi dengan dokter spesialis, saya mengikuti terapi tersebut.
Untuk mengikuti terapi tersebut perlu dilakukan pemeriksaan jumlah virus hepatitis C, genotipenya, juga pemeriksaan fungsi hati dan biopsi hati dan sebagai alternatifnya saya menjalani pemeriksaan fibroscan untuk menilai kepadatan hati. Ternyata hepatitis C saya sudah lanjut dan memang perlu segera diobati.
Dokter telah menyampaikan bahwa keberhasilan pengobatan sekitar 60 persen. Meski keberhasilan terapi rendah, saya khawatir keadaan hati saya akan memburuk jadi saya putuskan untuk mengikuti terapi tersebut. Saya juga bertanya pada teman-teman yang pernah menjalani terapi interferon dan mereka menceritakan pengalaman efek samping yang terjadi. Saya memahami bahwa efek samping akan bergantung pada masing-masing orang, jadi saya bersedia menghadapinya.
Saya sudah menikah setahun. Saya beserta istri merencanakan untuk punya anak. Dokter menganjurkan agar rencana punya anak ditunda sampai saya selesai menjalani terapi interferon. Sesuai dengan genotipe hepatitis C serta lanjutnya keadaan hati saya, maka saya harus menjalani terapi selama sekitar satu tahun. Istri saya juga menjalani pemeriksaan untuk deteksi hepatitis C dan syukurlah hasilnya negatif.
Minggu pertama menjalani terapi, badan saya mengalami pegal-pegal dan sedikit demam. Saya menjalani suntikan satu kali seminggu serta minum ribavirin 5 kapsul sehari. Efek samping yang saya alami lumayan berat selama dua minggu pertama. Untunglah saya dapat mengatasinya dan meneruskan terapi.
Setelah satu bulan terapi, saya mengalami anemia, menurut dokter keadaan ini disebabkan oleh ribavirin. Anemia cukup berat, hemoglobin saya dari 14 turun menjadi 9. Dokter menyuntik obat yang cukup mahal untuk mengatasi anemia dan tindakan ini berhasil mengatasi anemia saya.
Pada bulan pertama, tiga bulan, serta enam bulan, terapi menunjukkan hasil yang menggembirakan. Bahkan, setelah menjalani terapi setahun, virus hepatitis C saya berhasil tidak terdeteksi. Namun, dokter mengatakan harus tetap dipantau dan ternyata memang pada 3 bulan setelah selesai terapi, virus hepatitis C saya muncul kembali dan dokter mengatakan mengatakan terapi yang saya jalani gagal.
Waktu itu terbuka kesempatan untuk penambahan obat yang harganya amat mahal. Saya memutuskan untuk menunda terapi sambil menabung. Saya juga ingin punya anak dulu, sekarang istri saya sudah hamil empat bulan. Saya mendengar ada terapi baru hepatitis C yang keberhasilannya tinggi. Mohon penjelasan dokter apakah obat tersebut sudah tersedia di Indonesia dan apa efek sampingnya. Berapa kira-kira harganya? Apakah istri saya perlu juga minum obat pencegah hepatitis C? Terima Kasih atas penjelasan dokter.
Jawaban DR Samsuridjal Djauzi
Pertama-tama saya ingin mengucapkan selamat atas kehamilan istri Anda. Saya percaya dia telah menjalani pemeriksaan asuhan kehamilan. Pemeriksaan asuhan kehamilan amat penting untuk kesehatan ibu serta janin yang dikandungnya. Pemeriksaan tersebut mencakup pemeriksaan fisik, laboratorium, dan juga pemeriksaan ultrasonografi. Melalui pemantauan tersebut berbagai penyakit yang memengaruhi kehamilan dapat dideteksi sehingga, jika ada, dapat diobati.
Memang benar sekarang tersedia obat baru hepatitis C kronik dan obat itu sudah tersedia di Indonesia. Pemerintah menyatakan hepatitis C sebagai masalah kesehatan yang harus diperhatikan karena kekerapan hepatitis C di negeri kita cukup tinggi.
Hepatitis C menular melalui cairan tubuh, namun di negeri kita hepatitis C paling sering menular melalui pemakaian jarum suntik bersama. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi, tetapi risikonya tak sebesar penularan HIV. Begitu pula penularan dari ibu hamil yang hepatitis C positif pada bayinya juga jarang. Terapi hepatitis C menggunakan suntikan interferon dan ribavirin masih tetap dipakai. Hasil terapi memang belum menggembirakan meski interferon yang digunakan sudah merupakan obat interferon baru yang penyuntikannya hanya satu kali seminggu.
Obat hepatitis C kronik lainnya adalah obat yang digolongkan dalam direct acting antiviral (DAA) yang merupakan obat hepatitis dalam bentuk kapsul. Obat ini dapat digunakan bersama interferon untuk meningkatkan hasil terapi interferon. Gabungan terapi interferon dengan obat DAA hanya memerlukan waktu terapi tiga bulan, paling lama enam bulan. Bahkan, yang menggembirakan keberhasilan terapi dapat mencapai 90 persen.
Sudah cukup banyak pasien di Indonesia yang menjalani terapi ini, dan hasilnya hampir sama dengan di luar negeri. Bagi mereka yang tak dapat menggunakan interferon karena efek samping yang berat, tersedia gabungan obat DAA yang merupakan terapi oral bukan suntikan dan juga lama terapi hanya sekitar 3 bulan paling lama enam bulan. Jadi, terdapat kemajuan menggembirakan dalam terapi hepatitis kronik karena obat yang digunakan amat efektif dengan efek samping yang ringan.
Kendalanya, obat ini harganya mahal. Di negara maju, biaya terapi tiga bulan dapat mencapai Rp 800 juta (60.000 dolar Amerika). Untunglah untuk negara-negara yang sedang berkembang, obat ini disediakan dalam bentuk generik dan harganya berhasil diturunkan menjadi hanya sekitar 1.500 dolar (sekitar Rp 20 juta). Pemerintah menyediakan obat ini dan Anda dapat menghubungi dokter spesialis penyakit dalam (atau dokter konsultan hepatologi) untuk meminta penjelasan lebih lanjut.
Obat ini sementara hanya tersedia di rumah sakit pendidikan di Indonesia karena penggunaannya memerlukan pemantauan. Dalam waktu yang tak lama, obat ini akan tersedia secara luas. Bagi mereka yang mengalami kegagalan terapi dengan interferon, dapat dipertimbangkan penambahan obat DAA atau bahkan dapat menggunakan kombinasi obat DAA tanpa menggunakan interferon.
Dewasa ini, obat hepatitis C yang sudah ditanggung pemerintah adalah obat interferon suntikan, tetapi kita berharap agar pada masa depan obat DAA ini juga akan ditanggung pemerintah. Obat ini memang masih relatif mahal, namun dapat menyembuhkan hepatitis C. Dengan demikian, risiko penderita hepatitis C kronik menjadi sirosis hati atau kanker hati yang jumlahnya di negeri kita mencapai jutaan orang dapat dicegah. Istri Anda tak perlu minum obat ini karena dia tak tertular hepatitis C.
Mesir mempunyai program penanggulangan hepatitis C yang komprehensif. Di sana sudah ada peta jalan penanggulangan hepatitis C yang pencapaiannya adalah tidak ada lagi penderita hepatitis C baru dan pengobatan semua penderita hepatitis C kronik. Mesir merupakan negara yang kekerapan hepatitis C-nya amat tinggi, sehingga mereka membuat program yang komprehensif.
Di Indonesia, pemerintah juga sudah merencanakan untuk melakukan penanggulangan hepatitis C, mulai dari penyuluhan, deteksi, serta terapi. Program ini akan memerlukan sumber daya yang tak sedikit, namun jika berhasil, kita dapat menghentikan penularan hepatitis C dan menyelamatkan jutaan nyawa. Mari kita bersama pemerintah menanggulangi hepatitis C dengan cara mengamalkan gaya hidup sehat serta memeriksakan diri terhadap kemungkinan tertular hepatitis C. Semoga terapi Anda selanjutnya akan berhasil baik.
Memang benar sekarang tersedia obat baru hepatitis C kronik dan obat itu sudah tersedia di Indonesia. Pemerintah menyatakan hepatitis C sebagai masalah kesehatan yang harus diperhatikan karena kekerapan hepatitis C di negeri kita cukup tinggi.
Hepatitis C menular melalui cairan tubuh, namun di negeri kita hepatitis C paling sering menular melalui pemakaian jarum suntik bersama. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi, tetapi risikonya tak sebesar penularan HIV. Begitu pula penularan dari ibu hamil yang hepatitis C positif pada bayinya juga jarang. Terapi hepatitis C menggunakan suntikan interferon dan ribavirin masih tetap dipakai. Hasil terapi memang belum menggembirakan meski interferon yang digunakan sudah merupakan obat interferon baru yang penyuntikannya hanya satu kali seminggu.
Obat hepatitis C kronik lainnya adalah obat yang digolongkan dalam direct acting antiviral (DAA) yang merupakan obat hepatitis dalam bentuk kapsul. Obat ini dapat digunakan bersama interferon untuk meningkatkan hasil terapi interferon. Gabungan terapi interferon dengan obat DAA hanya memerlukan waktu terapi tiga bulan, paling lama enam bulan. Bahkan, yang menggembirakan keberhasilan terapi dapat mencapai 90 persen.
Sudah cukup banyak pasien di Indonesia yang menjalani terapi ini, dan hasilnya hampir sama dengan di luar negeri. Bagi mereka yang tak dapat menggunakan interferon karena efek samping yang berat, tersedia gabungan obat DAA yang merupakan terapi oral bukan suntikan dan juga lama terapi hanya sekitar 3 bulan paling lama enam bulan. Jadi, terdapat kemajuan menggembirakan dalam terapi hepatitis kronik karena obat yang digunakan amat efektif dengan efek samping yang ringan.
Kendalanya, obat ini harganya mahal. Di negara maju, biaya terapi tiga bulan dapat mencapai Rp 800 juta (60.000 dolar Amerika). Untunglah untuk negara-negara yang sedang berkembang, obat ini disediakan dalam bentuk generik dan harganya berhasil diturunkan menjadi hanya sekitar 1.500 dolar (sekitar Rp 20 juta). Pemerintah menyediakan obat ini dan Anda dapat menghubungi dokter spesialis penyakit dalam (atau dokter konsultan hepatologi) untuk meminta penjelasan lebih lanjut.
Obat ini sementara hanya tersedia di rumah sakit pendidikan di Indonesia karena penggunaannya memerlukan pemantauan. Dalam waktu yang tak lama, obat ini akan tersedia secara luas. Bagi mereka yang mengalami kegagalan terapi dengan interferon, dapat dipertimbangkan penambahan obat DAA atau bahkan dapat menggunakan kombinasi obat DAA tanpa menggunakan interferon.
Dewasa ini, obat hepatitis C yang sudah ditanggung pemerintah adalah obat interferon suntikan, tetapi kita berharap agar pada masa depan obat DAA ini juga akan ditanggung pemerintah. Obat ini memang masih relatif mahal, namun dapat menyembuhkan hepatitis C. Dengan demikian, risiko penderita hepatitis C kronik menjadi sirosis hati atau kanker hati yang jumlahnya di negeri kita mencapai jutaan orang dapat dicegah. Istri Anda tak perlu minum obat ini karena dia tak tertular hepatitis C.
Mesir mempunyai program penanggulangan hepatitis C yang komprehensif. Di sana sudah ada peta jalan penanggulangan hepatitis C yang pencapaiannya adalah tidak ada lagi penderita hepatitis C baru dan pengobatan semua penderita hepatitis C kronik. Mesir merupakan negara yang kekerapan hepatitis C-nya amat tinggi, sehingga mereka membuat program yang komprehensif.
Di Indonesia, pemerintah juga sudah merencanakan untuk melakukan penanggulangan hepatitis C, mulai dari penyuluhan, deteksi, serta terapi. Program ini akan memerlukan sumber daya yang tak sedikit, namun jika berhasil, kita dapat menghentikan penularan hepatitis C dan menyelamatkan jutaan nyawa. Mari kita bersama pemerintah menanggulangi hepatitis C dengan cara mengamalkan gaya hidup sehat serta memeriksakan diri terhadap kemungkinan tertular hepatitis C. Semoga terapi Anda selanjutnya akan berhasil baik.