Berevement di Aceh

Pertanyaan Dadang di Jakarta,
Saya banyak mendengar akan gangguan psikiatrik di Aceh, seperti post traumatic stress disorder (PTSD), panik, stres dan yang saya tak mengerti gangguan penyakit yang dinamakan berevement.

Saya mendengar bahwa gangguan itu disebabkan karena kematian orang yang dicintai. Yang menjadi masalah, bukankah hal itu suatu yang normal ! dan lagipula, apa perlu ke psikiater, bukankah bila kita ikhlas maka penyakit itu tidak akan terjadi.

Jawaban Dr. Yul,
Pertanyaan Anda benar sekali. akan tetapi berevement adalah suatu penyakit yang ada dalam klasifikasi daftar penyakit dari DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) dari AS. Suatu gangguan penyakit yang disebabkan oleh karena adanya kematian dari orang yang dicintai.

Pada mulanya, penyakit ini kurang mendapat perhatian dari para psikiater. Banyak juga psikiater yang menganggap penyakit ini tidak ada. Tentu dapat dimengerti mengapa mereka berpikir demikian. Kematian orang yang dicintai tetapi telah sakit berpuluh tahun, atau orang tua yang telah berumur lanjut tidak menimbulkan masalah yang hebat.

Pada umumnya berevement akan terjadi pada minimal 10 orang keluarga yang meninggal, biasanya penyakit ini sembuh dengan sendirinya (90%), atau akan sembuh dengan segala cara dalam waktu 7-100 hari kematian itu. Pada waktu lampau tak ada pasien yang datang ke psikiater karena kematian keluarganya. Pada umumnya berbagai ritual keagamaan setelah kematian orang yang dicintai akan menghilangkan berevement.

Akan tetapi kini dengan banyaknya trauma dan disaster serta terorisme yang mengakibatkan kematian yang tiba-tiba dalam jumlah yang banyak, persoalan berevement bukanlah masalah yang enteng. Dari setiap kematian satu anggota keluarga maka akan menimbulkan berevement pada 10 anggota keluarga yang lain. Kematian yang tiba-tiba dari 150.000 orang di Aceh, akan mengakibatkan berevement pada satu setengah juta orang.

Pasien dengan berevement tidak akan pergi ke dokter apalagi ke psikiater. Mereka biasanya pergi ke para rohaniawan.

Banyak yang sembuh dengan mendengarkan nasihat yang baik dari para rohaniawan. Akan tetapi ada kira-kira 10% yang mengaku tidak puas dengan jawaban atas masalah mereka.

Bila rohaniawan mengatakan kematian itu takdir, dia tidak puas mengapa takdir itu menimpa anaknya (atau orang yang dicintainya) dan mengapa tidak pada orang lain. Bila rohaniawan mengatakan hal itu adalah cobaan atau ujian bagi orang yang masih hidup, dia tidak puas karena mengapa ujian itu begitu berat.

Kalau rohaniawan menyatakan itu adalah ganjaran atau hukuman, mereka mempertanyakan mengapa anaknya atau orangtuanya yang baik hati itu dihukum sampai seberat itu, dan lain sebagainya yang sulit untuk didiskusikan. 

Mereka tak bisa menanggung beban itu.

Ada pula yang menyesali mengapa dia tak mampu melindungi orang yang dikasihinya.

Pada umumnya 90% dapat menerima, dan menjadi baik setelah beberapa waktu. Akan tetapi ada kira-kira 10% yang tak bisa menerima segala penderitaan itu. Dia menjadi tak bisa tidur, mudah tersinggung, serba salah, sulit konsentrasi. Bisa pula pasien melarikan diri pada pemakaian obat terlarang, atau alkohol. 

Satu minggu sampai satu bulan setelah kejadian tragedi di Aceh, banyak sekali ditemukan berevement. Ada yang melihat bahwa para korban (berevement) menjadi malas atau mudah tersinggung, atau menjadi pelupa, malahan tidak mau menjadi relawan, tetapi minta upah pada apa yang harus dikerjakannya (misalnya mengangkat mayat).

Hal ini karena tidak adanya empati atau simpati dari beberapa relawan pada pasien berevement. Banyak relawan yang pergi tanpa berbekal pengetahuan mental health apalagi pengetahuan psikiatri.

Para relawan yang menjadi ujung tombak, yang bekerja di daerah tertimpa disaster memerlukan pengenalan dan pengetahuan akan situasi dan kondisi serta pengetahuan mental health para korban.

Tim kami dari Dharma Graha Group yang menjadi relawan (Hj. Nurlaela N.Q. M. Pd) seorang pendidik, yang pergi ke Aceh selama 10 hari melihat dan mengatakan bahwa ada beberapa relawan melihat korban (berevement) sebagai orang yang sulit didekati. Malahan sebaliknya ada korban (berevement) tidak merasa perlu adanya relawan.

Pendekatan yang berorientasi mental health mencairkan hubungan. Sangat perlu sekali bahwa para korban (berevement) diajak ikut memecahkan masalah.

Ada beberapa relawan yang hanya melihat para korban (pengungsi dan pasien berevement) sebagai objek belaka. Sedangkan dari sudut mental health meningkatkan kesadaran, keinginan, kepercayaan diri dan mengembangkan kemampuan para korban (berevement) adalah penting.

Ada sekitar 10% dari penderita berevement menunjukkan berbagai gejala yang menyerupai anxietas dan depresi. Beberapa dokter memberikan obat golongan benzodiazepine pada keadaan tersebut. Walaupun obat itu aman, akan tetapi lebih tepat bila tidak memakai obat sama skali, yaitu dengan cara non psikofarmaka, misalnya mengajarkan stress survival atau manajemen stres.

Akan tetapi ada 1% pasien yang tidak bisa hanya diberikan pengobatan nonpsikofarmaka, maka bila memang obat psikofarmaka tidak bisa lagi dihindarkan karena kondisi pasien, pilihannya adalah golongan SSRI (selective serotonine reuptake inhibitor)  .

Mengapa pada keadaan normal berevement tak perlu dirisaukan. Akan tetapi pada situasi abnormal, di mana pendekatan normal tidak bisa diterapkan, maka dibutuhkan bantuan pekerja mental health dan psikiater. Itulah salah satu kesimpulan dari Educational Symposia Stress and Disaster. The Role of Psychiatrist and Psychopharmaca.           

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar