Stik Kecil Penguji Kanker
Dengan alat kreasinya, kanker nasofaring bisa dideteksi lebih cepat.
BAU obat-obatan menyeruak dari perempuan itu. Bagaimana tidak, ia berdiri di bawah rak obat-obatan. Tangannya sibuk membuka wadah plastik berisi stik kecil mirip alat penguji kehamilan.
Namun, ia tidak hendak memeriksa kehamilan. Stik itu berfungsi sebagai alat pendeteksi dini kanker nasofaring.
Dialah Dewi Kartikawati Paramita, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Ia melahirkan alat pendeteksi dini kanker nasofaring yang cepat, mudah, dan murah.
Kanker nasofaring atau nasopharynx cancer (NPC), kata Dewi, adalah kanker yang menyerang bagian dalam di daerah leher, letaknya di tenggorok belakang hidung. Di dunia, secara umum kejadian kanker nasofaring sangat rendah, kurang dari 1% per 100 ribu penduduk per tahun di dunia.
Di negara tertentu seperti di Afrika dan Asia Tenggara, kejadian kanker itu tergolong menengah sampai tinggi. Di Indonesia, angka penderita kanker nasofaring mencapai 6,2% per 100 ribu penduduk per tahun.
Dalam kajiannya, perkembangbiakan kanker nasofaring pada dasarnya memerlukan jangka waktu yang lama. Biasanya kanker itu menyerang seseorang pada usia 40-50 tahun dengan puncak usia sampai 60-an. Namun akhir-akhir ini Dewi mendapati usia muda di bawah 20-an yang sudah terinfeksi kanker nasofaring.
"Laki-laki lebih banyak ketimbang perempuan," jelas perempuan lulusan Vrije Universiteit, Amsterdam, itu.
Di Indonesia, penyakit yang belum ditemukan secara pasti penyebabnya itu menempati urutan keempat penyakit mematikan di antara kanker lainnya. Gejala kanker nasofaring tidak spesifik. Pasien biasanya terserang pilek berkepanjangan, pusing, dan sering mengeluh rasa sakit di area leher atau tenggorok. Meski sudah diobati, gejalanya tidak juga kunjung sembuh atau sembuh tetapi nanti kambuh lagi.
"Karena gejalanya tidak tampak, banyak dokter yang tidak menyadari itu kanker nasofaring," ujarnya.
Sayangnya, keluh Dewi, belum ada alat pendeteksi kanker nasofaring sejak dini. Akibatnya, banyak pasien yang datang dalam kondisi stadium lanjutan dan akibatnya sulit ditangani,. Hal itu yang memotivasi Dewi mengembangkan alat deteksi kanker tersebut dengan harga murah dan mudah didapatkan masyarakat.
Murah dan mudah
Dewi mengaku alat bernama IgG NPC Strip itu merupakan pengembangan dari alat yang sudah ada. Namun, alat buatan Prof Sofia Mubarika belum dijadikan kementerian sebagai alat pendeteksi rutin karena harganya mahal, berkisar Rp 250 ribu, dan perlu dukungan sejumlah alat untuk pemeriksaan laboratoriumnya. Menteri Kesehatan meminta pendeteksi dibuat dari alat berteknologi sederhana, mudah dipakai, dan murah hingga bisa digunakan semua lapisan masyarakat.
Mudah dan murah itulah yang memacu Dewi untuk bekerja keras. Ia pun bekerja sama dengan Laboratorium Hepatika di Nusa Tenggara Barat (NTB). "Alhamdulillah, bisa (membuat alat deteksi)," ujarnya.
Meski hasil kreasi Dewi mirip alat tes kehamilan, cara kerjanya berbeda. Alih-alih dicelupkan ke urine, alat tes kanker itu dicelupkan ke darah atau serum.
Satu pak IgG NPC Strip berisi larutan (buffer), jarum, dan stik plastik seperti sedotan. Darah pasien, kata Dewi, diambil dari ujung jari menggunakan jarum, lalu dimasukkan ke larutan dan dicampur sampai homogen. Setelah itu, tunggu 5 menit untuk mendapatkan hasilnya. "Atau baca di aturan penggunaannya," jelas perempuan berusia 43 tahun itu.
Layaknya tes kehamilan, bila muncul dua garis pada alat tersebut, hasilnya positif. Sebaliknya, hasilnya negatif bila hanya terdapat satu garis. "Sama dengan orang hamil," imbuhnya.
Harga alat deteksi itu pun murah, yakni Rp 20 ribu - Rp 50 ribu,. Meski murah, tingkat akurasi IgG NPC Strip mencapai 87%. Jika digunakan pada orang yang tidak terkena kanker nasofaring, deteksi tidak akan muncul. Selain itu, bila hasil pengetesan positif, belum tentu terkena kanker nasofaring. " Jangan panik, segeralah ke dokter THT (telinga, hidung, dan tenggorokan) dan onkologi," ujarnya.
Kehadiran IgG NPC Strip menjadi cara penyembuhan yang murah dan ringan karena pasien yang terdeteksi bisa melakukan radioterapi dan memiliki tingkat kesembuhan mencapai 80%. Adapun pasien stadium lanjutan membutuhkan kemoterapi dan kemungkinan sembuhnya kurang dari 3%.
Tahun ini, kata Dewi, IgG NPC Strip sudah masuk proses registrasi di Kementerian Kesehatan, dan dia mengaku sedang mencari pabrik yang sesuai. "Semoga tahun ini keluar dan bisa segera dimanfaatkan masyarakat," tandasnya. (M-5)
furqon@mediaindonesia.com