Memaafkan = Membebaskan Diri Dari Kemarahan

Memaafkan. Satu hal yang cukup sulit dilakukan. Memang mudah mengatakan, tapi berat melakukannya. Selama ini kita diajarkan untuk saling memaafkan. Korban kasus kriminal pun kadang melakukannya pada si pelaku yang menyakiti mereka. Bahkan di Amerika sana ada International Forgiveness Institute yang melulu meneliti soal forgiveness. Apa sih pentingnya? Mungkin karena memaafkan - atau seperti banyak orang meyakini - bisa meredakan kemarahan, memperbaiki hubungan, menghilangkan depresi bahkan meningkatkan harga diri Anda.
Bagi siapa saja yang menyimpan dendam, tekanan untuk memberi maaf akan lebih banyak. Memang sulit. Terkadang Anda tak bisa begitu saja melupakan yang terjadi, memaafkan orang yang menyakiti Anda dan memilih untuk menyimpan dendam. Akibatnya timbul rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri. Itu sebabnya, kini para ahli kesehatan mental mulai menyarankan hal lain yang dianggap melawan arus. "Anda tak perlu merasa kecewa karena tak bisa melupakan rasa sakit yang dialami," kata Jeanne Safer, Ph.D., psikoterapis dan penulis  buku Forgiving and Not Forgiving. "Ada dugaan bahwa memaafkan membuat kita jadi manusia yang lebih baik. Tapi akan lebih  baik jika kita jujur dengan apa yang kita rasakan."

Hidup diselimuti dengan dendam
"Hidup tak seperti talk-show di televisi, di mana perilaku jahat benar-benar mudah dimaafkan," tukas Susan Forward, Ph.D., psikolog dan penulis When Your Lover is a Liar. "Ada beberapa hal yang memang tak mudah diberi maaf."

Lisa yang tinggal di Austin, Texas, merasa bersalah karena belum bisa memaafkan orangtuanya yang tak mampu meminjamkan uang saat ia benar-benar membutuhkan. "Saya tak pernah minta uang sebelumnya," katanya. Lisa bahkan sekolah di sekolah umum dan bekerja sebagai pelayan selama kuliah untuk membiayai hidupnya. Sewaktu ia sakit dalam jangka lama sampai dikeluarkan dari pekerjaan. Lisa mendapat kesulitan membayar kontrakan dan membayar tagihan lainnya. "Orangtua saya tak bisa memberikan pinjaman dengan alasan tak punya simpanan. Waktu itu saya bisa mengerti. Tapi begitu mendengar mereka sanggup bayar uang kuliah saudara saya, bahkan membiayai perjalanan ke Florida untuk berlibur, saya tidak bisa begitu saja melupakannya. Mereka memang orangtua yang saya cintai. Saya menikmati kebersamaan ketika pulang ke rumah. Tapi jauh dalam lubuk hati, saya masih menyimpan dendam. Mungkin saya memang belum siap memaafkan perbuatan mereka. Saya terlalu sakit hati."

Bahayanya pura-pura memberi maaf
"Tak seorang pun bisa menyangkal, menyimpan dendam dan menekan kemarahan berakibat buruk," kata Safer. "Tapi ada kemungkinan untuk menghilangkan rasa sakit hati tanpa memaafkan. Tujuannya agar merasa lebih baik, lebih terkendali. Terkadang menolak memberi maaf satu-satunya cara untuk berdamai dengan diri sendiri."

Berlagak menerima permintaan maaf dan bertindak seakan semuanya baik-baik saja - padahal tidak sesuai dengan yang dirasakan - tak berarti apa-apa. Daripada membohongi diri, lebih baik jujurlah dengan perasaan yang Anda alami. Jangan sampai jadi pemberi maaf pura-pura. 

Lizbeth yang tinggal di Chicago pernah mengalami hal ini. Ia memergoki temannya pernah mengambil kartu kredit dari dompetnya dan menggunakan untuk belanja. "Saya menerima permintaan maafnya, ia bahkan sampai menangis. Saya tak tahu lagi apa yang harus saya lakukan," kenangnya. "Saat seseorang minta maaf, kita merasa wajib menerimanya. Kalau tidak, Anda dianggap berengsek." Lizbeth tetap bergaul seolah tak terjadi apa-apa. Tapi dalam hati ia marah. "Teman saya mengaku melakukannya, tapi seperti tak pernah menyesali perbuatannya.," sahutnya kesal. "Dia berjanji akan mengembalikan uang yang dipakai, tapi tak pernah dilakukan. Kadang saya ingin berteriak di depannya sambil mengatakan. 'Tak apa kamu mencuri uang saya. Pergi jauh-jauh dari hidup saya'!"

"Saat terasa seperti kewajiban, tak ada yang nyaman untuk dilakukan. Memberi maaf malah bisa membuat Anda merasa buruk, lebih sengsara," jelas Forward. Bahkan pendukung Universal Forgiveness memperingatkan berbahayanya bertindak pura-pura. "Jika Anda begitu mudahnya memberi maaf sebagai pemanis mulut saja, tanpa disertai ketulusan, berarti Anda tak memahami kemarahan. Mengakui semua perasaan, rasa sakit hati dan dikhianati merupakan bagian penting dari proses penyembuhan," tegas Robert Enright, Ph.D., profesor psikologi pendidikan di Universitas Wisconsin, Madison, yang meneliti forgiveness sepanjang lebih dari 1 dekade.

Lizbeth akhirnya memutuskan pertemanannya. "Saya kasihan padanya. Dia jelas punya masalah. Tapi dalihnya memakai kartu kredit - katanya dia ingin membeli baju gratis dan berharap saya tak tahu - tak masuk akal. kalau saja dia menunjukkan penyesalan, mungkin saya berubah pikiran. Tapi rasanya dia bukan orang yang saya inginkan untuk jadi teman saya selanjutnya." Lizbeth mengaku tak punya dendam, tapi tak mau lagi berteman dengannya.

Pengkhianatan kecil jadi sangat berarti
Terkadang pengkhianatan, sekecil apa pun, tak bisa dimaafkan. Misalnya sewaktu kecil, Anda sering diomeli karena kegemukan. Ini bukan karena menyangkut rasa sakit hati, tapi karena siapa yang melakukannya. Sebagian bahkan dilakukan oleh orang yang dekat dengan kita, pasangan hidup, kekasih, orangtua, saudara kandung dan sahabat yang dipercaya. "Jika pun Anda sudah tidak lagi marah dan mengatakan masih mau berteman," jelas Safer, "kepercayaan tak lagi sama. Tingkat keintimannya juga berbeda. Dan Anda sulit mengubahnya."

Bagi Patti, tindakan suaminya yang kurang mendukung jadi penyebab renggangnya hubungan mereka. "Saya hamil 6 bulan sewaktu terjadi pendarahan dan harus lahir prematur. Tapi 2 hari kemudian bayi kami meninggal," kenang ibu yang tinggal di Atlantic Beach ini. Awalnya si suami amat mendukung. Tapi lama kelamaan, kebaikannya memudar. "Dia lebih dulu berhasil menghilangkan rasa berdukanya. Saya saat itu masih berduka sampai harus mendapat pertolongan profesional. Sementara suami saya berulang kali mengatakan, tak perlu pergi ke psikolog, dia sendiri bisa membantu saya asal mau membicarakannya berdua. Dia malah mendorong saya mendapatkan obat-obatan dari dokter, padahal dokter sendiri tak mau memberikannya begitu saja. Lama-kelamaan suami jadi tak sabar. Saya sadar, ini sebuah ujian dan suami saya tak lulus. Jadi saya minta cerai."

Biarkan sembuh dengan sendirinya
Bagaimana melindungi diri dari pengkhianatan kepercayaan dan menghindar dari kemarahan, dendam dan ketakutan? Saran Safer: Awali dengan sekali lagi melihat apa yang terjadi dari berbagai sudut pandang. Rasakan apa yang Anda alami saat ini, rasa malu, jijik atau merasa diremehkan?

Langkah selanjutnya, coba analisa motivasi orang tersebut mengkhianati Anda, demikian menurut Safer. Apakah memang ingin menyakiti Anda atau tak sengaja melakukannya? Apakah dia berada di bawah tekanan atau sengaja menyerang? Atau apakah dia melakukannya karena merasa terancam? Juga pertimbangkan latar belakangnya, adalah rasa cemburu, ketidakmatangan emosi atau merasa tidak aman? Atau dia alkoholik atau sakit mental? Cobalah menempatkan diri dalam posisinya, lalu tulis apa yang ada dalam pikiran Anda saat itu. Bicarakan dengan sahabat yang bisa dipercaya. Pertimbangkan berulang kali. Jika memungkinkan, tanyakan padanya, apa motif di balik semua perbuatannya dan dengarkan jawabannya dengan kepala dingin. Tujuan Anda untuk memperoleh pemahaman dan bisa empati terhadap apa yang dilakukannya.

Tapi bagaimanapun juga jangan terjebak untuk mencoba memahami apa yang tidak masuk akal. Begitu pendapat Safer selanjutnya. Coba bayangkan, bagaimana Anda bisa menerima perselingkuhan suami atau ibu yang selalu mengkritik semua tindakan Anda. Namun Anda bisa mulai memandang orang lain dengan kacamata baru. Lihat mereka sebagai orang yang juga punya kelemahan seperti Anda.

Menurut Safer yang telah berpengalaman lebih dari 27 tahun, setelah refleksi tadi - yang bisa makan waktu bulanan bahkan tahunan - baru Anda bisa memaafkan dengan tulus. Atau bisa saja Anda tidak mau memaafkannya, bukan karena Anda merasa jadi korban, tapi karena Anda memutuskan tak bisa lagi mempercayainya. Kebanyakan malah terjebak di antara dua kubu tersebut, bisa memaafkan meski tidak sepenuhnya dan melanjutkan hubungan tapi dengan kedekatan yang berbeda. Tak bisa lagi sama. Atau mencoba bersikap netral, tidak menyukai atau membenci si pengkhianat, dan mencoba untuk tidak terlalu dekat lagi dengannya.

"Ini benar-benar sesuatu yang pribadi. Apa pun yang Anda pilih," kata Safer. "Salah satu pasien saya korban perlakuan incest sang ayah. Dia bisa memaafkan ayahnya dan tetap menjalin kontak dengannya. Sementara orang lain belum tentu bisa melakukannya. Kita semua berbeda. Sepanjang Anda bisa menyingkirkan rasa sakit yang diderita dan bisa melanjutkan hidup dengan tenang, Anda jadi pemenang.   

Bagaimana jika darah Anda masih mendidih setiap kali memikirkan si pengkhianat? Safer yang pernah menghabiskan waktu tahunan untuk meredakan kemarahan terhadap ayahnya yang pernah kepergok berselingkuh dengan 2 wanita sekaligus, menganjurkan untuk bersabar. "Memang butuh waktu. Saya bahkan masih marah pada ayahnya, padahal sudah lama meninggal." Cobalah praktekkan teknik yang dianjurkan Safer sampai Anda bisa memahami perasaan Anda dan bisa lebih memahami perbuatan si pengkhianat sebagai kekhilafan yang biasa dilakukan manusia. 


Banyak orang tak bisa memaafkan orang yang telah menyakitinya. Tapi Safer akhirnya bisa memaafkan sang ayah. "Itu bukan tujuan utama sebenarnya. Saya hanya ingin membebaskan diri saya dari semua kemarahan. Seseorang yang punya masalah yang sama mungkin tak bisa melakukannya dan memilih jalan lain. Dan saya bisa memahaminya."

ati/Rb

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar