Limbah Medis. Awas, Menyebarkan Penyakit Menular

Jumlah rumah sakit di Indonesia terus bertambah. Jika pada tahun 2005 tercatat telah ada 1.266 rumah sakit, terdiri atas 642 RS pemerintah dan 626 RS swasta, maka tahun 2006 sudah meningkat menjadi 1.292 RS dengan rincian 654 RSP dan 638 RSS. Namun, di balik pertambahan ini," ...belum banyak rumah sakit mampu mengelola limbah medisnya secara baik." Pertanyaan itu disampaikan Drs Tulus TH Sibuea MSi dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Jawa Barat dalam seminar Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia atau Persi pada awal September lalu di Jakarta.

Pembangunan rumah sakit memang rumit. Pada satu sisi, keberadaannya membuahkan manfaat positif bagi pelayanan kesehatan. Namun, di sisi lain, limbah medis yang dihasilkan jika tidak dikelola akan menyebabkan pencemaran membahayakan. Sebab, risiko pencemaran dari limbah rumah sakit sangat besar, mulai dari tersebarnya penyakit, kebocoran limbah kimia, radiasi, sampai gangguan fisik bangunan. Hal tersebut dapat membahayakan pasien, pekerja rumah sakit, sampai masyarakat sekitarnya.

Ikut menyebarkan AIDS

Catatan tahun 2002 menunjukkan, limbah alat suntik bekas imunisasi di Indonesia mencapai angka lebih dari 66 juta buah. Terdiri atas 36,8 juta peralatan suntik imunisasi bayi 10 juta imunisasi ibu hamil, dan 20 juta imunisasi siswa, ditambah sisa peralatan suntik kuratif sekitar 300.000 buah. Jika limbah alat suntik itu tidak ditangani secara baik, akibat ikutannya sangat berbahaya.

Untuk tahun yang sama, kajian di Jakarta menunjukkan, terdapat 1.601 kasus AIDS, yang penyebarannya akibat penggunaan jarum suntik tidak steril pada 1.058 penderita atau mencapai  99,6 persen. Jarum suntik yang tidak steril itu ternyata adalah alat suntik bekas pakai yang dibuang sembarangan.

Dari Jawa Barat dilaporkan, limbah padat medis mencapai 23 ton per hari. Selama ini, empat petugas kebersihan mengalami kecelakaan akibat tertusuk jarum suntik yang dibuang di TPA Ciangir. Kasus itu menunjukkan, limbah padat eks rumah sakit (antara lain jarum suntik) dibuang bersama limbah rumah tangga sehingga membahayakan petugas kebersihan sekaligus meningkatkan penularan HIV (99 persen) lewat penggunaan jarum suntik bekas.

Alur yang harus dilakukan dalam hal pengelolaan limbah padat medis memang panjang. Diawali pemilahan, pengumpulan ke area penyimpanan, dilanjutkan penyakit untuk dihancurkan dengan insinerator (tungku pembakar) sebelum residu abu eks limbah medis dikuburkan pada secured landfill. Selama perjalanan panjang itu, jika tidak ditangani secara baik, limbah RS bisa mengalami kebocoran dengan segala akibat negatifnya.

Hanya 15 persen kondisi baik

Kajian Depkes bersama WHO tahun 1997 terhadap 88 RS di luar Jakarta menunjukkan, hanya 15 persen yang menangani limbahnya dengan baik. Sedangkan 80 persen tidak sempurna proses pemisahan limbah hanya, 20,5 persen kesalahan penggunaan wadah, dan 72,7 persen kesalahan  saat mengangkut limbah. Belum ada kajian ulang mengenai kasus ini, tetapi yang pasti kebocoran dalam rangkaian proses itu membahayakan lingkungan dan jarum suntik bekas telah ikut menyebarkan HIV/AIDS.

Kelemahan penanganan limbah medis bisa kita lihat jelas. Banyak RS masih mencampurkan limbah medis dengan non medis. Situasi ini semakin diperburuk dengan tidak dipakainya wadah standar penampung benda tajam, semisal untuk jarum, syringe. Bahkan, beberapa RS memakai kotak karton atau botol plastik bekas air minum untuk membuang jarum suntik. Berlanjut dengan petugas pengumpul tidak memakai baju pelindung dan memakai troli terbuka untuk mengangkut limbah medis.

Kelemahan pengelolaan itu dilengkapi kenyataan bahwa limbah hanya dikumpulkan di halaman RS, bukan di suatu area khusus. Ini semua mempermudah masyarakat sekitarnya datang, yang justru memungkinkan tersebarnya vektor pembawa penyakit. Bahkan, sejumlah rumah sakit di daerah hanya menggunakan open skip untuk penyimpanan limbah medis serta membuang limbah secara tradisional. Dibuang tanpa soil cover yang bisa mengurangi kemungkinan penyebaran residu limbah medis.  

Tahun 2003 sudah dimulai program pengembangan penanganan limbah medis tajam dengan metode insinerasi di 21 kabupaten di enam provinsi. Program itu dilakukan setelah survei pada 1.176 rumah sakit di 30 provinsi menunjukkan, hanya 648 (49 persen) rumah sakit memiliki insinerator. Dari 107 rumah sakit di Jakarta hanya 10 yang punya insinerator dan dari 8 puskesmas pembina hanya 5 yang punya insinerator, itu pun hanya 2 yang masih berfungsi.

Menurut Tulus Sibuea sebagian besar rumah sakit di Jakarta punya insinerator untuk memusnahkan limbah medis. Namun, insinerator yang kurang sempurna merupakan penghasil dioksin berbahaya. Sebab, kristal putih hasil pembakaran terbukti mengandung 300 senyawa berbahaya, di antaranya TCDD (tetra chloro difensopora dioksin) senyawa beracun. 

Memang, pengaturan memungkinkan pengiriman limbah medis, antara lain benda tajam, ke rumah sakit yang punya insinerator. Namun, apakah insineratornya memiliki kapasitas cukup untuk menangani tambahan limbah dari rumah sakit lain? Sementara rumah sakit yang tak punya akses ke insinerator pilihannya hanya membakar limbah medisnya di halaman. Bahkan, rumah sakit yang punya insinerator sering tidak punya fasilitas monitoring emisi gas buang cerobong, tidak punya cerobong memadai, dan tanpa gas scrubber sehingga tidak memenuhi persyaratan.

Harus segera diakhiri

Jawa Barat dengan limbah medis 23 ton per hari selama ini hanya punya fasilitas pemusnahan di Cileungsi, Bogor. Sadar akan bahaya yang bisa ditimbulkan akibat  besarnya jumlah limbah medis yang  belum bisa tertangani," ...kondisi ini menjadi kekhawatiran bersama. Sebab, jika tidak segera ditangani, pasti menyebabkan penurunan kualitas lingkungan," kata Gubernur Jabar Danny Setiawan.

Pemprov Jabar mengalokasikan dana Rp 187 miliar khusus untuk pengolahan limbah. Dalam tahap pertama telah dikucurkan Rp 63 miliar kepada PT Jasa Medivest untuk membangun komplek pengolahan limbah medis, insinerator, pengontrol pencemaran udara (air pollution control) berikut area penyimpanan di Desa Cikampek Pusaka, Kabupaten Karawang.

PT Jasa Medivest merupakan usaha patungan dengan komposisi 95 persen saham Pantai Medivest Sdn Bhd Malaysia dan 5 persen saham PT Jasa Sarana, perusahaan milik Pemprov Jabar. Jasa Medivest nantinya mengoperasikan fasilitas proses insinerasi terpusat untuk menangani limbah medis seluruh Jabar dalam tahap pertama bisa diproses 12 ton limbah medis per hari dengan target kapasitas operasional 48 ton per hari. Manajemen pemusnahan terintegrasi dilakukan sejak pengumpulan di semua rumah sakit sampai pengangkutan ke lokasi tempat pembuangan akhir yang aman. Konsep ini membantu institusi kesehatan di Jabar mengelola limbah medis dan lebih berbahaya secara sistematik dan aman, sekaligus menjadikan daerah itu pelopor dalam proses sentralisasi fasilitas limbah medis di Indonesia.

Pilihan Jabar berpartner dengan Pantai Medivest Sdn Bhd tepat sekali. "Sejak tahun 1997 kami sudah go public serta dipercaya menangani limbah medis dari 22 rumah sakit di Malaysia, menjadikan perusahaan  ini kisah sukses dalam bidang kesehatan berikut penanganan limbah medis," kata Azman Ibrahim, Dirut Pantai Medivest Sdn Bhd. Pabrik pengolah limbah berbahaya mereka didirikan di Bukit Rambai, Melaka, dengan investasi 18 juta ringgit.         

Jalan panjang telah dilalui pemprov Jabar dalam mewujudkan tekad mengatasi penyebaran penyakit dan pencermaran lingkungan dari limbah medis serta limbah bahan berbahaya beracun. Perjanjian kerja samanya dengan investor asal Malaysia ditandatangani November 2006, dan baru pertengahan bulan ini instalasi pemusnah limbah medis di Karawang mulai dibangun. Paling tidak, ancaman pencemaran lingkungan dari limbah medis setempat sudah akan bisa teratasi.

Adapun potensi ancaman serupa di daerah lain  masih disembunyikan dan tak berani diwacanakan.

JULIUS POUR - Wartawan tinggal di Banten  

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar