Suami Santai, Istri Stres

Ibu Rienny Yth.,

Saya ibu rumah tangga, kerja sendiri, dan mempunyai dua anak. Semula keluarga bahagia karena kami bekerja. Tapi, sejak tiga tahun lalu, suami kena PHK dan saya bertanggung jawab mencari nafkah. Masalahnya, saya kesal dan sering  emosi melihat suami yang terkesan santai. Dia seperti berharap bintang jatuh dari langit.

Ibu Rieny akhir-akhir ini saya sering menangis dan kadang susah mengontrol emosi. Saya seperti stres dan berpikir tidak waras. Saya pernah ingin bunuh diri loncat dari mobil dan ingin menabrakkan mobil ke truk tronton ketika jalan dengan anak-anak. 

Gila, kan, Bu? Saya langsung istigfar. Sepanjang jalan menangis dan membenci diri sendiri serta suami karena tidak bisa membahagiakan anak-anak. Ibu, saya makin down karena tidak bisa mencari nafkah. Bayangkan Bu, pengeluaran Rp 5 juta setiap bulan dan gaji Rp 3 juta per bulan padahal sudah berhemat. 

Saya sudah mencoba membicarakan hal  ini dengan suami. Dia bilang telah berusaha tetapi belum ada hasil. Usaha apa? Dapat berapa bila mengandalkan bagi hasil yang tidak jelas? Kok, ada laki-laki yang rajin beribadah tapi tidak tahu kewajiban. Padahal suami saya taat beribadah. Tapi, apakah cukup berdoa?

Perasaan yang akhir-akhir ini sering datang adalah ingin mati bersama dua anak saya. Saya juga ingin bercerai tapi takut anak-anak jadi korban. Padahal saya tidak kuat berumah tangga. Saya sangat mencintai anak-anak saya dan  tidak mau mereka tumbuh sebagai pribadi tidak sempurna.

Semakin hari, saya merasa sudah tidak mampu membiayai rumah tangga. Namun saya tidak mau curhat sebab akan membuka aib suami dan menelanjangi isi rumah tangga.

Tolong beri saya solusi supaya tenang menjalani hidup, menyaksikan anak-anak tumbuh besar, menikah, dan bisa melihat cucu-cucu bersama suami. Saya menyayangi keluarga saya tetapi bagaimana saya harus mempertahankannya seorang diri? Terima kasih ya, Bu. Salam. 

Ibu X Yth.,

Sedih sekali membaca surat Anda dan membayangkan betapa lelahnya menanggung beban ekonomi keluarga seorang diri. Menurut saya, yang harus Anda ubah adalah pandangan bahwa menceritakan masalah sama dengan membuka aib keluarga.

Aib, hemat saya, adalah ketika suami atau istri melakukan perbuatan yang dibenci Tuhan mengkhianati komitmen keluarga.

Buka aib namanya ketika terjadi disfungsi keluarga saat salah satunya tidak atau kurang mampu memenuhi tuntutan peran. Misalnya, suami yang berperan sebagai pencari nafkah keluarga kena PHK lalu harus dibantu istrinya. Hemat saya, keluarga besar boleh tahu. Bu X. Ikatan emosional yang terbina mestinya menggerakkan hati para kerabat untuk membantu.    

Beberapa waktu lalu, kita familier dengan program pemerintah yaitu Jaring Pengaman Sosial, bukan? Nah, maksud saya, jejaring kita adalah keluarga besar. Dalam keadaan normal kita acap mengabaikan silaturahmi dan mendekatkan diri. Alhasil, kadang kakak dan adik tak tahu lagi nama keponakan masing-masing. Begitu suami harus masuk RS, misalny, di rumah tak ada pembantu, istri menunggui di RS. Bukankah harapan pertama adalah keluarga?

Investasi berupa hubungan baik dan bersedia saling menolong adalah hal yang selalu berharga untuk dilakukan. Jangan dilihat sebagai pamrih, tetapi kemaslah sebagai niat baik dan kita yang berinisiatif memulainya.

Bu X, saat kita bisa berbagi cerita, secara psikologis, minimal ada yang mendengar keluh kesah. Beban mental pun terasa lebih ringan dan akal sehat bisa berperan lebih dominan dibandingkan emosi. Kalau kita terbiasa membantu, masa tak ada yang tergerak membantu saat kita membutuhkan bantuan?

Saya ingat benar, almarhum mertua pernah membantu kerabatnya yang sudah lama tak mempuyai pembantu untuk menemani empunya rumah yang sibuk mencuci, memasak dan tetek bengek lainnya.

Si Tante ini bercerita kepada saya, "Kalau tante enggak ada pembantu, Mami biasanya datang. Jadi ada yang bantu buka pintu kalau anak-anak pulang, angkat telepon, panggil tukang sayur lewat, nyapu-nyapu. Ini menolong sekali, lho." Sementara mertua berprinsip, "Saya tak punya uang, makanya tenaga dan perhatianku 'disumbangkan' ke saudara yang sedang membutuhkan." Indah, kan, Bu X?

Berikutnya, coba Anda ubah strategi menghadapi suami. Ajak bicara tentang kondisi keuangan secara objektif. Jadi, tinggalkan kata-kata, "Aku capek seharian kerja. Abang cuma duduk di rumah merancang bisnis yang tak ada wujudnya."

Dengan data, dia tidak bisa berkilah ke kiri ke kanan, bukan? Kalau dia katakan, tak tahu harus apa, saat itulah Anda boleh mengatakan bahwa Anda tidak malu dia bekerja apa pun asal halal.

Salah seorang klien saya hampir seperti Anda. Malah ia sudah sampai di tahap muak melihat ketidakberdayaan suaminya sementara karier dia melesat. Salah satu alasan suaminya adalah mengembalikan masalah ke dirinya. "Nanti kamu malu kalau saya bekerja begini dan begitu." Maka saya sarankan jadi supir taksi saja! Setiap lewat markas taksi, pasti ada tulisan lowongan untuk pengemudi.

Akhirnya, dengan berat hati, mantan manajer bank (yang sudah bangkrut) itu menjadi supir taksi. Tetapi, begitu dia merasakan beratnya mencari uang, ia malah bergairah menabung pendapatannya.

Ia mulai menyewa gerobak martabak, mencari pengelola, dan kini mempunyai belasan gerobak. Ia bahkan baru membeli rumah kontrakan sehingga pegawainya bisa diberi penampungan. Ia sudah tidak menyupir lagi. Hal  penting yang terjadi, dia berhasil meraih rasa percaya diri dan harga diri yang sempat hilang saat di-PHK dulu.

Para istri sering lupa bahwa pekerjaan bagi laki-laki adalah bagian bermakna besar untuk menegakkan harga dirinya. Sebagian besar identitas diri laki-laki ditentukan status yang diberikan pekerjaannya. Maka dari itu, sangat penting untuk segera menemukan aktivitas produktif setelah di-PHK. Sehingga suami tak terlalu lama tidak beraktivitas dan tidak percaya diri lagi ketika bersaing merebut lowonan pekerjaan.

Klien saya terus mendorong suaminya berwiraswasta martabak walaupun tak sebanding gaji top eksekutif. Tetapi, gairah bekerja yang kini ada membuat suami tidak sensitif, berseri-seri, dan berenergi mengejar mimpi-mimpinya untuk punya empang pemancingan, kios burger, dan sebagainya. Seumpama mobil mogok, saat penyebabnya sudah ditemukan dan dihidupkan, dia akan berjalan, makin lama makin cepat. 

Bagaimana kalau suami juga ditantang mencari uang? Benar, cari uang, bukan cari pekerjaan! Kalau mencari pekerjaan berarti harus ada pemberi kerjanya, Bu. Kalau cari uang, ia harus berkeringat menciptakan aktivitas yang ada uangnya.

Kemandirian inilah yang sukar sekali tumbuh pada mereka yang selama ini sudah terbiasa menjadi orang"gajian". Kata-kata klise seperti: "Berdagang, kan, butuh modal", "Jadi supplier, kan, harus ada koneksi", "Mau sewa tanah untuk menanam cabai, harus ada petaninya", dan sebagainya. Terlalu banyak "kan", dan akhirnya tak ada yang dilakukan kecuali takut gagal sebelum mencoba sesuatu!

Hemat saya, keinginan menghancurkan diri atau self destruction adalah penanda tingginya tingkat stres. Tampaknya Anda malah harus mencontoh suami dalam hal ini. Perbanyak ibadah kepada Allah, mengadu, dan mohon diberi kekuatan agar bisa menuntun suami mencari celah mencari uang. Jangan ditunda ya, Bu, dan mulailah berbagi dengan keluarga besar yang terasa dekat di hati. Terimalah saran dengan lapang dada.

Pemberi saran terbanyak biasanya tak bermuara pada solusi. Jangan sakit hati. Orang yang memberi solusi adalah sosok yang terbiasa mendengar dan bukan bicara. Ia akan menanyakan minat suami, kebiasaannya terkait pendidikan dan pengalaman kerja maupun hobi. Lalu ia akan menantang suami untuk mulai bertindak.

Nah, di saat ini, jangan terlalu banyak mengkritik. Melainkan, optimalkan pendampingan dan dukungan. Yang penting mesin-mesin di tubuhnya yang terkait hasrat mencari uang sudah "kesetrum' lagi dan bergerak meski pelan tapi pasti.

Mudah-mudahan beban Anda bisa segera terbagi, bisa mengobrol enak dengan suami, dan muncul solusi efektif untuk mengatasi masalah keuangan keluarga. Keep up your spirit ya, Bu, tetap semangat! Allah pasti menyayangi Anda kalau Anda tetap menghormati suami dan mendampinginya untuk mengatasi saat-saat sulit seperti ini. Salam hangat.    

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar