Adakah Kesempatan Kedua?
Konflik rumah tangga yang tak berkesudahan bak api dalam sekam. Tak sedikit pasangan yang akhirnya memutuskan bercerai. Jika masih ada waktu dan kesempatan memperbaiki keadaan, apa yang sebaiknya dilakukan?
Menurut sebuah penelitian di beberapa kota besar di Indonesia, angka perceraian mencapai sekitar 10 persen dan tak menutup kemungkinan jumlahnya akan terus meningkat. Pasalnya menurut penelitian tersebut, hanya 10 persen pasangan suami istri yang merasa bahagia dalam pernikahannya.
Sebanyak 80 persen pasangan bak "api dalam sekam". Artinya, seakan-akan terlihat tidak ada masalah yang sedang dihadapi, padahal tersimpan konflik yang tak kunjung tuntas.
Aneka Pemicu
Ada beragam muara permasalahan yang dihadapi pasangan hingga terucap kata cerai. Menurut dra. Irna Minauli, M.Si., Direktur Minauli Consulting, di Indonesia umumnya perceraian dipicu oleh beberapa masalah, di antaranya perselingkuhan, ekonomi, dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Perselingkuhan
"Perlu diketahui, seiring waktu setiap pernikahan akan melalui fase-fase kritis. Diawali krisis pada tahun pertama pernikahan yang lebih banyak dipicu kendala penyesuaian diri terhadap pasangan, mertua, masalah ekonomi, seksual dan pengasuhan anak. Jika hal ini dapat diatasi dengan baik, akan terjadi fase keseimbangan (equilibrium) di mana hampir tidak terjadi konflik.
Hingga kemudian memasuki masa 10 tahun pernikahan, munculnya konflik baru. Pada masa ini, lanjut Irna, lebih banyak dipicu adanya kebosanan sehingga ingin merasakan hal-hal baru di luar pernikahan. Banyak pasangan mengalami godaan dari luar yang membuat dirinya terlibat dalam perselingkuhan.
"Reaksi yang berlebihan dan emosional dari pasangannya seringkali malah memperparah hubungan pernikahan. Dari pengalaman praktik saya sebagai psikolog, dijumpai banyak pasangan yang terancam perceraian karena faktor peselingkuhan."
Faktor ekonomi
Faktor ekonomi juga tak sedikit menjadi pemicu permasalahan dan berujung pada perceraian. Misalnya, suami yang tak berpenghasilan, masih tinggal serumah dengan orangtua/mertua karena belum mapan secara ekonomi dan sebagainya.
KDRT
Kekerasan ini biasanya terkait dengan penggunaan narkoba atau minuman keras oleh salah satu di antara pasangan.
Persoalan seksual
Biasanya disebabkan sikap seksual yang berbeda sehingga pasangan memiliki pandangan yang berbeda pula terkait hal ini. Misalnya, pasangan mengalami gangguan perilaku atau orientasi seksual. Atau masalah perbedaan hasrat seksual, misal sang istri cenderung nymphomania (hypersexual) sementara suami kebalikannya (hyposexual).
Masalah anak
Perceraian juga bisa dipicu karena masalah anak. Sebuah penelitian di Amerika Serikat menyebutkan, tingkat perceraian di kalangan orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus juga tergolong tinggi.
Atasi Konflik
Apa pun pemicunya, keretakan rumah tangga lebih disebabkan karena ketidakmampuan pasangan dalam mengatasi konflik yang terjadi. Kemudian banyak pasangan menganggap perceraian bisa menjadi jalan keluar dari permasalahan. "Padahal, perceraian justru bisa membawa banyak masalah baru. Mereka harus menyesuaikan terhadap masalah keuangan, seksual, sosial dan masalah praktis sehari-hari."
Belum lagi risiko perceraian yang jauh lebih besar pada perkawinan kedua dan seterusnya. Di Amerika, misalnya, data perceraian mencapai 50 persen. Tapi ternyata pada pernikahan berikutnya angka itu meningkat menjadi 75 persen.
"Oleh karena itu pikirkan berulang-ulang sebelum bercerai, bahkan kalau perlu sampai ratusan kali. Jangan terlalu mudah untuk mengatakan cerai atau menggugat cerai, terutama bagi para istri karena seringkali kemudian menyesali keputusannya. Perceraian ternyata membawa dampak yang jauh lebih buruk terhadap dirinya dan anak."
Sebenarnya, lanjut Irna, setiap konflik yang terjadi dengan berbagai muara persoalan, bila tak sampai mengancam keselamatan salah satu pihak masih bisa "ditolerir" selama masih ada niat untuk memperbaikinya.
"Pernikahan terlalu berharga untuk dihancurkan hanya karena masalah-masalah yang masih bisa diperbaiki. Kecuali misalnya, kasus KDRT yang sudah mengancam keselamatan jiwa seseorang, termasuk anak. Anak yang terpapar kasus KDRT akan menerima efek buruk jangka panjang."
Bagaimana dengan perselingkuhan? "Jika masih bisa diselamatkan, ada baiknya pasangan mempertimbangkan untuk dapat memaafkan, meski tentu saja tidak mudah. Tidak mustahil suami atau istri yang bersedia memaafkan dapat kembali meraih kehidupan perkawinan bahagia. Semua memang tergantung niat untuk memperbaikinya."
Tiga Elemen Cinta
Agar terus harmonis dan bahagia, pada dasarnya setiap pasangan harus terus-menerus melakukan penyesuaian dan meningkatkan kemampuan dalam menangani konflik pernikahan. Tak sedikit pasangan yang ingin mendapatkan kebahagiaan secara instan tanpa menyadari bahwa hal itu harus senantiasa dipupuk dan dibina.
Menurut teori Sternberg elemen cinta mencakup tiga hal, yaitu intimacy (keakraban), passion (gairah), dan commitment (komitmen). Ketiga unsur ini harus selalu dipupuk. "Keakraban dapat dilakukan dengan membina komunikasi yang baik di antara suami istri. Ketika komunikasi berlangsung baik, gairah pun biasanya akan sejalan. Begitu pentingnya komunikasi sehingga ada motto 'talk to me and I'll make love with you'".
Setelah keakraban dan gairah kembali menyala, pasangan harus mencoba melakukan rekonsiliasi, menata ulang masalah dan perbedaan-perbedaan di antara mereka. "Perbaiki kembali janji pernikahan dan berkomitmen. Jika perlu, lakukan second honeymoon. Sehingga pada akhirnya pasangan bagaikan pengantin baru lagi setelah berhasil melewati satu badai dalam kehidupan."
Terakhir, Irna mengingatkan, pada dasarnya tak ada pasangan yang memenuhi kriteria sempurna. Untuk itu kita harus belajar menerima kenyataan bahwa finally they live happily ever after hanya ada dalam dongeng.
Setiap pasangan akan mengalami pasang surut kehidupan perkawinan belajar terus menyesuaikan diri, mencoba menerima kekurangan pasangan, dan memaafkan merupakan kunci penting dalam pernikahan."
Hilman Hilmansyah