Berpacu Melawan Hipertensi & Komplikasinya

HIPERTENSI atau tekanan darah tinggi cenderung  menyebabkan stroke yang bisa menyerang kapan saja. Selain itu, hipertensi juga bisa merusak ginjal hingga gagal ginjal. (DR. Woro Hastiningsih/Deppy Marlinda/Nurul Fauziah)

DELAPAN tahun lalu tekanan darah Djumbadi - sebut saja demikian - mencapai 145/85 milimeter air raksa dua tahun setelah itu, tekanan darahnya naik menjadi 160/90 milimeter air raksa. Djumbadi tidak mengeluhkan sakit yang khas, cuma kadang agak pusing sedikit.  Obat yang diresepkan dokter kadang diminum kadang tidak, kemudian ia berhenti mengonsumsi obat karena merasa tak lagi ada keluhan. 

Lalai dengan penyakitnya, berbuntut gawat. Laki-laki paruh baya tersebut divonis dokter mengalami gagal ginjal, sehingga harus menjalani cuci darah sejak 3 bulan lalu. Dari keterangan dokter yang merawatnya, diketahui hipertensi dan pola hidup tak sehatnya membuat ginjalnya rusak. Pria berbobot 75 kilogram dan bertinggi 165 sentimeter ini seorang perokok.

Ahli Ginjal dan Hipertensi dari RSCM/FKUI, Dr Ginova Nainggolan, Sp.PD-KGH, mengatakan hipertensi bisa menyebabkan kerusakan pada organ sasaran target. Selain ginjal, penyakit ini menyerang otak, jantung, pembuluh darah, dan mata khususnya retina.

Apa itu Hipertensi?

Secara ringkas pengertian hipertensi adalah tekanan darah tinggi. Tekanan darah yang terjadi sebenarnya yang merupakan  pengukuran kinerja jantung. Angka pertama (sistolik) diukur saat jantung menguncup dan memompa darah berjalan ke semua organ pada tubuh. Setelah  melepas oksigen, vitamin, dan mineral, darah kembali lagi ke ruang jantung kanan, saat itu diketahui nilai tekanan diastolik.

Jika terdapat gangguan pada aliran darah, misalnya penyempitan akibat kotoran, atau pengecilan pembuluh darah karena pengaruh tertentu, dibutuhkan tekanan yang lebih besar agar darah bisa mengalir, kondisi ini yang disebut hipertensi. 

Batasan hipertensi yang ditentukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1999 adalah 160/90 mmHg. Tahun 2003, batasan tersebut diperketat menjadi 140/90 mmHg. 140 mmHg angka sistolik, sedangkan 90 tekanan diastolik.

Apa penyebab hipertensi?

Gaya hidup modern tampaknya meningkatkan tekanan darah yang menyebabkan hipertensi. Beberapa faktor yang diketahui antara lain adalah pemasukan garam yang tinggi, konsumsi  alkohol berlebih, dan obesitas (kegemukan). Faktor genetis juga memengaruhi penyakit ini. Hipertensi primer adalah tipe paling umum (mencapai lebih dari 90%) dan dapat diatasi melalui gaya hidup yang lebih sehat dan medikasi bila diperlukan. Hipertensi sekunder adalah hasil dari gangguan atau abnormalitas dari ginjal, gangguan hormon, dan organ vital lainnya, akibatnya aliran darah harus bekerja lebih kuat, sehingga tekanan darah meningkat. Tipe yang lebih jarang ini sering harus dirawat melalui pembedahan. Hipertensi dapat timbul selama kehamilan dan keadaan yang memerlukan perhatian khusus.

Gejala Hipertensi

Menurut Dr. Ginova, gejala hipertensi biasanya tidak dirasakan, sehingga penyakit ini disebut silence disease. Banyak orang yang menganggap tekanan darah tinggi itu pasti mengakibatkan pusing. Pandangan itu keliru. Karena kekeliruan itu tidak semua pasien berobat, karena memang tidak mengeluh pusing. Dia menyarankan bagi orang sehat paling tiap tahun sekali memeriksa tekanan darah. Sedang yang sakit setiap bulan sekali.

Penanganan & Pengobatan hipertensi

Jika seseorang telah terdiagnosis menderita hipertensi, maka dokter akan melakukan strategi pengobatan. Jika masih dalam taraf ringan, biasanya dokter akan menganjurkan perubahan gaya hidup. Menghindari lemak, garam, dan makanan lain yang bisa mengakibatkan gangguan pembuluh darah merupakan  anjuran utama. Selain itu berolahraga dan mengurangi stres juga merupakan gaya hidup yang sebaiknya dijalani.

Jika sudah dalam tahap lanjut, biasanya dokter akan memberikan obat. Ada berbagai macam obat yang bisa diberikan untuk mengatasi hipertensi. Tidak semua penderita mendapatkan obat yang sama. Pemilihan  jenis obat hipertensi harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi pasien. Komunikasi yang baik antara dokter dan pasien sangat dibutuhkan guna mendapatkan obat yang cocok untuk setiap individu.

Penentuan obat hipertensi dapat dilakukan dengan dosis rendah, dipantau hasilnya seminggu kemudian pada saat kontrol dinilai apakah obat yang diberikan sebelumnya memberikan manfaat, seperti menurunkan tekanan darah, apakah ada efek samping yang tidak bisa ditolerir pasien, apakah pasien merasa nyaman menggunakan obat tersebut, dan lain sebagainya. Demikian seterusnya pemilihan obat ini terus dievaluasi sampai mendapatkan obat yang tepat dengan dosis yang sesuai. Obat itu nantinya digunakan terus setiap hari untuk mengendalikan hipertensinya. Jika tekanan darah pasien sudah terkontrol dan menemukan obat yang cocok, maka kunjungan ke dokter dapat lebih jarang sampai 2-3 bulan sekali.

Selain memilih obat yang mempunyai efek yang optimal dengan efek samping minimal, penting juga mempertimbangkan masalah harga mengingat obat hipertensi ini akan diminum pasien seumur hidupnya. Dr. Ginova menghimbau agar dokter dapat memilihkan obat yang baik namun tidak mahal atau terjangkau, sehingga pasien juga tidak merasa terbebani dengan biaya pengobatannya. Meskipun demikian, biaya yang dipakai untuk mengobati hipertensi sebenarnya relatif murah jika dibandingkan apabila terkena komplikasi seperti stroke.

Hipertensi termasuk penyakit kronis. Penanganan penyakit kronis tidak terbatas hanya dengan obat melainkan harus ditunjang dengan edukasi yang  baik. Dengan edukasi yang baik pasien akan lebih paham mengenai penyakitnya, bagaimana harus minum obat, dan tentunya pasien akan lebih termotivasi untuk berobat secara teratur dan memperbaiki gaya hidupnya.

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar

Mengapa Terlambat Tumbuh?