Melepas Jerat Hubungan "Toxic"

Sungguh tidak enak jika kita punya teman yang menimbulkan aura negatif atau istilah sekarang pembawa "toxic". Apalagi jika kita harus bekerja sama dengannya. Haruskah kita menjauhinya dan menceritakan keburukannya kepada orang lain agar tak ada korban baru?

Begitu curhatan yang kerap muncul dari banyak anak muda akhir-akhir ini. Mereka dalam dilema. Mau memutuskan hubungan pertemanan, kasihan dengan teman itu. Tapi jika terus berteman, perilaku toxic si kawan terus memunculkan masalah yang membuat orang lain pusing kepala.

Kebingungan seperti itu, antara lain, dialami Safitri, mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Semarang, Jawa Tengah. Ia menceritakan, hubungan pertemanan sejak duduk di bangku SMK terkadang membuat dirinya merasa "palsu". Bahkan tidak bisa menjadi dirinya sendiri. "Sampai hari ini kami masih berkomunikasi dengan lancar meski jarang bertemu. Aku ngerasa kayak fake gitu kalau di depan mereka," katanya. 

Sifat posesif dari dua temannya membuat Safitri tidak bisa bergerak bebas. Misalnya, teman-teman semasa abu-abu itu akan menyindir jika dia tak bisa pergi bareng. Sindiran seperti "Wah, masih ingat, sama kita ya" atau "Sudah sana main sama mereka aja" menjadi kalimat yang membuat Safitri tak enak. 

Untungnya, Safitri masih punya satu teman yang menjadi sahabatnya sebagai tempat curhat. Dia merasa sedikit tertolong jika ada sahabatnya saat berkumpul berempat. Untuk itulah, dia memilih diam dan tidak menegur teman-teman yang membuatnya merasa tak nyaman. Selain itu, dia merasa tak enak memutus silaturahmi dengan teman-teman lamanya itu.

"Kalau aku bilang ke mereka nanti malah dikira lebay. Jadi, aku lebih memilih diam saja kalau berada di antara mereka. Mending main hape aja. Kayaknya, sih, mereka juga tidak merasa kalau aku enggak nyaman," ujar mahasiswi semester VIII ini.

Membuat tertekan

Dengan memiliki banyak teman, terutama di kampus, Safitri tak ambil pusing dengan sikap temannya yang toxic itu. Berbeda dengan Sukma, mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Jakarta, yang memilih menjauh dari teman yang membuat dirinya tertekan.

Sukma menceritakan, temannya itu suka, menjelek-jelekan orang lain saat sedang mengobrol bareng. Padahal, Sukma tak mengenal orang yang diceritakan oleh temannya itu. Dari obrolan yang tidak enak itu, Sukma merasa temannya seperti memengaruhi dirinya untuk ikut membenci orang yang diceritakan.

"Dia suka ngomongin orang dan underestimate dengan orang lain. Kayak bilang 'Ih baju lu aneh'. Kadang saya malah malu kalau pas lagi kumpul sama teman-teman yang lain," ujarnya.

Sukma berusaha mengingatkan temannya untuk mengurangi sikap yang membuat orang lain tak enak hati. Sayangnya, teguran itu dianggap angin lalu. "Saya malah dibilang 'Ah lebay, kan cuma gitu aja" atau 'Ah kan itu cuma bercanda'. Ya, mungkin dia punya percaya diri yang lebih. Sekarang, saya berusaha menghindari dia, kebetulan juga pas pandemi jarang bertemu karena kuliah daring," cerita Sukma.

Sebenarnya, Sukma merasa kesepian saat harus berjarak dengan teman yang bisa dibilang bestie itu. Sejak semester I hingga VIII, mereka berdua sering bareng ke mana-mana. Namun, karena sikap temannya yang bikin suasana enggak nyaman. Sukma memilih tetap menjaga jarak. "Iya, kesepian sih, tapi biarin aja deh jauh, sekarang sih kangen juga enggak. Awalnya, dia nanya kok saya kayak menjauh, tapi sekarang udah jarang kontak," kata Sukma.

Sebenarnya, bukan sekali ini saja Sukma bertemu dengan teman yang toxic. Saat masih SMA, dia menjadi tempat curhat temannya yang berpacaran dengan cowok yang suka marah secara tiba-tiba. Pasangan itu juga teman sekolah Sukma.

"Cowoknya temanku itu sering ngumpul, ngobrol, atau bercanda bareng teman-temannya. Tapi, tiba-tiba dia marah-marah enggak jelas gitu. Temanku juga pas pacaran malah pernah mengalami kekerasan. Untung sekarang mereka sudah pisah. Kalau saya, sih, mending menghindar berteman sama cowok itu," ujarnya.

Pengalaman lain dialami oleh Maria Rezitadina yang baru mulai bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta. Ia sempat galau oleh tingkah kawan kuliahnya. Saat masih kuliah, ia punya teman satu program studi yang bertingkah "semau gue", padahal ia kerap tergabung dalam satu kelompok dengan Maria untuk mengerjakan tugas dosen. "Dia suka menghilang. Dihubungi susah, kalau pun muncul, tugas bagian dia enggak dikerjakan. Kami, anggota kelompok lainnya, kerap dibuat kesal. Jika dia tak mengerjakan tugas, kami tak bisa menyelesaikan tugas dosen tersebut," tutur Maria. 

Oleh karena kerap mangkir yang mengakibatkan anggota kelompok lain menggantikan mengerjakan tugasnya, teman Maria mengusulkan agar teman yang toxic tersebut dilaporkan ke dosen. Namun, Maria dan temannya enggak mau mengadu. Cara lain, berbarengan bertemu dengan pembuat toxic dan meminta ia lebih disiplin. Usaha itu gagal sebab kawan itu tak mau mengubah perilaku buruknya. 

Pengalaman kedua berhadapan dengan kawan yang membuat tugas tak lancar terjadi di perusahaan tempat ia bekerja saat ini. Kawan itu kerap tak segera mengirimkan berkas yang dibutuhkan Maria untuk mengerjakan tugasnya. Untuk mengatasinya, Maria mengambil langkah mengirim permintaan lewat surat resmi yang tembusannya diberikan kepada atasan si kawan. "Dengan cara itu, saya berharap atasannya yang menegur stafnya yang tak segera mengirimkan permintaan saya," ucap Maria.

Mengajak bicara

Menanggapi relasi tak sehat seperti itu, ahli psikologi sosial yang mengajar di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Albertus Harimurti,  menyatakan, ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya. Upaya mengajak bicara kawan pembuat toxic merupakan langkah yang tepat.

Melakukan komunikasi secara langsung dan menanyakan ada masalah apa kepada pelaku, sekaligus mengatakan keluhan kita, diharapkan bisa menyadarkan teman yang sering membuat sekitarnya tidak nyaman. Lewat dialog, kedua belah pihak bisa saling memahami posisi masing-masing sehingga bisa sama-sama mengendalikan diri. Pada akhirnya, akan terjadi relasi yang lebih baik.

"Saya tak menyarankan korban tiba-tiba memutuskan tak mau berteman lagi dengan pelaku. Cara itu tak menyelesaikan masalah. Sebab, selain bisa memunculkan trauma pada si pelaku, yang akhirnya bisa membuat dia kesepian lalu depresi, bisa jadi ia tak paham akan apa yang ia lakukan sehingga membuat orang lain terganggu," tutur Albertus pada Kamis (12/5/2022).

Jika lewat dialog tak juga berhasil, boleh saja si korban menjauhi pelaku, namun jangan sampai menyebarkan cerita perilaku toxic-nya. Menurut Albertus bagaimanapun, korban harus punya respek dan etika kepada pembuat toxic. "Jika korban menyebarkan perilaku toxic kawannya ke orang lain, yang terjadi dia juga menjadi pelaku toxic yang baru. Demikian seterusnya," katanya.

Menyadari perilaku toxic berkembang dengan cepat di kampus, Albertus sudah meminta para mahasiswanya untuk melapor kepada dirinya jika menjadi korban sehingga bisa segera dicari solusinya. Rantai perilaku toxic ada baiknya segera diputus. Komunikasi lancar, hubungan pertemanan dijamin lebih seru, deh...

Soelastri Soekirno & Susie Berindra   

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar