Akses Layanan Hambat Pencegahan
Upaya pencegahan bunuh diri perlu intervensi yang cepat dan tepat. Namun, akses layanan kesehatan jiwa masih terbatas.
JAKARTA, KOMPAS - Salah satu dampak pandemi Covid-19 adalah timbulnya stres dan masalah psikososial bagi banyak orang. Hal ini perlu segera diatasi untuk mencegah masalah kesehatan jiwa yang lebih berat yang dapat berujung pada keinginan bunuh diri.
Namun, keterbatasan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan jiwa menghambat upaya penanganan yang cepat dan tepat. Hal itu diperberat dengan adanya stigma serta minimnya kesadaran akan kesehatan jiwa.
"Beberapa hal yang terjadi selama pandemi dapat memicu masalah kesehatan jiwa seseorang. Pada mereka dengan kapasitas mental yang kurang baik, itu dapat berujung pada masalah psikologi dan menjadi pemicu untuk melakukan bunuh diri," ujar Lahargo Kembaren, psikiater dari Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (9/9/2021).
Ia menyampaikan setidaknya ada empat hal yang dapat memicu masalah kesehatan jiwa selama pandemi. Pertama, kondisi yang penuh tekanan seperti tingginya angka kematian, sulitnya mencapai layanan perawatan dan alat kesehatan, serta kehilangan orang terdekat akibat Covid-19.
Kedua, adanya infodemik. Masyarakat lebih banyak terpapar informasi yang sifatnya menakutkan dan mengancam tanpa diimbangi dengan informasi yang positif. Ketiga, adanya pembatasan sosial. Pembatasan mobilitas membuat masyarakat tidak leluasa berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain.
Keempat, kemampuan adaptasi yang terbatas. Di masa pandemi, setiap orang menghadapi dampak yang berbeda-beda, mulai dari harus di-PHK, kehilangan penghasilan, serta muncul persoalan relasi dengan orang lain.
Hasil swaperiksa yang dilakukan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJDI) di 31 provinsi pada 4 April - 7 Oktober 2020 memperlihatkan 68 persen dari 5.661 responden mengalami masalah kejiwaan atau psikologis. Dari jumlah itu, 67,4 persen terkena gangguan cemas. 67,3 persen depresi, dan 74,2 persen mengalami trauma psikologis.
Lahargo menuturkan dari analisis yang dilakukan PDSKJI, satu dari lima orang bahkan sudah mulai berpikiran bahwa ia tidak memiliki harapan untuk hidup. Mereka juga berkeinginan untuk bunuh diri. Sebesar 15 persen dari mereka yang punya keinginan bunuh diri terus memikirkan hal tersebut setiap hari.
"Ketika sudah ada keinginan untuk bunuh dirl, seseorang harus cepat dan tepat untuk mendapatkan penanganan. Bunuh diri termasuk pada kegawatdaruratan dalam kesehatan jiwa yang harus segera didampingi dan mendapatkan pertolongan dari profesional, seperti psikolog atau psikiater," tuturnya.
Hambatan
Meski begitu, Lahargo menyampaikan, berbagai kendala dihadapi dalam upaya pencegahan bunuh diri di masyarakat. Stigma dan diskriminasi menjadi kendala utama yang masih terjadi. Sebagian orang menilai gangguan jiwa sebagai aib, bahkan gaib. Selain itu, gangguan juga sering dikaitkan dengan kurangnya rasa syukur dan keimanan.
Kesadaran masyarakat untuk memahami masalah kesehatan jiwa masih kurang. Padahal, menjaga kesehatan jiwa tidak kalah penting dari menjaga kesehatan fisik.
"Akses ke layanan kesehatan jiwa juga sulit bagi sebagian orang besar masyarakat. Layanan yang tersedia belum banyak diketahui, baik layanan yang bisa diakses secara daring maupun tatap muka," tuturnya.
Berdasarkan Laporan Perilaku Penggunaan Layanan Kesehatan Mental Indonesia 2021 dari Into The Light, komunitas untuk advokasi, kajian, dan edukasi pencegahan bunuh diri, hanya 27 persen responden yang pernah mengakses layanan kesehatan mental. Tidak hanya itu, tiga dari lima orang pun tidak tahu jika ada "layanan kesehatan mental di wilayah domisilinya.
Selain itu, sebanyak tujuh dari sepuluh orang tidak tahu bahwa layanan Jaminan Kesehatan Nasional melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dapat menanggung biaya akses dan pengobatan layanan kesehatan mental. Padahal, layanan konsultasi dan pengobatan untuk kondisi tertentu dapat ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Sumber daya
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Celestinus Eigya Munthe menyampaikan, keterbatasan akses pada layanan kesehatan jiwa juga dipengaruhi oleh terbatasnya jumlah sumber daya kesehatan jiwa. Dari sekitar 10.000 puskesmas yang ada di Indonesia, baru 1.000 puskesmas yang memiliki layanan kesehatan jiwa.
Karena itu, pemerintah berupaya untuk meningkatkan kapasitas sumber daya kesehatan jiwa. Pelatihan dokter, perawat, dan kader dilakukan untuk memperkuat layanan kesehatan jiwa di daerah yang masih terbatas.
"Kementerian Kesehatan juga telah menyediakan aplikasi sehat jiwa dan telemedicine yang dapat diakses masyarakat dari jarak jauh. Psikiater dan psikolog klinis telah ditugaskan untuk siap melakukan pendampingan serta deteksi dini pada gangguan kesehatan jiwa melalui aplikasi tersebut," ucap Celestinus.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengategorikan bunuh diri sebagai prioritas kesehatan masyarakat yang harus diatasi. WHO juga menyebut bahwa bunuh diri merupakan penyebab kematian keempat terbesar penduduk kelompok umur 5-19 tahun. Ada lebih dari 700.000 penduduk dunia meninggal akibat bunuh diri setiap tahun. Sebanyak 77 persen kejadian bunuh diri terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Meski demikian, bunuh diri bisa dicegah dengan intervensi yang berbasis bukti. Perlu ada strategi nasional multisektor yang komprehensif untuk menekan kasus bunuh diri. (TAN)