Bedah Bariatrik. Penurunan Berat Badan Tekan Risiko
JAKARTA, KOMPAS - Bedah bariatrik membantu orang dengan obesitas menurunkan berat badan. Tujuannya, menekan beragam risiko kesehatan yang menyertai orang dengan obesitas. Jika sekadar ingin tampil menarik dengan berat tubuh lebih ideal, masyarakat sebaiknya tak menjalani bedah bariatrik.
Bedah bariatrik adalah operasi pada pasien dengan obesitas, terutama obesitas morbid (kegemukan yang menyebabkan penyakit). Caranya antara lain, memodifikasi lambung atau usus untuk menekan jumlah makanan yang bisa masuk.
"Bedah bariatrik bukan bedah kosmetik" kata dokter spesialis bedah konsultan bedah digestif pada rumah sakit Gading Pluit, Peter Ian Limas di sela simposium ilmiah ke-3 dan lokakarya "Perkembangan Terkini Endokrinologi: Manajemen Tiroid dan Gangguan Metabolik", Sabtu (17/10) di Jakarta.
Salah satu perbedaan mendasar adalah bedah kosmetik dijalankan orang sehat untuk memperbaiki bentuk tubuh, sedangkan bedah bariatrik bagi orang gemuk untuk memperpanjang harapan hidup. Sebab, harapan hidup bisa berkurang 12 tahun pada pria dewasa dengan Indeks Massa tubuh (BMI) lebih dari 40 kilogram per meter persegi, dan berkurang 9 tahun pada wanita berkategori itu.
Indeks itu diperoleh dengan rumus berat badan dalam kilogram (kg) dibagi tinggi badan dalam meter yang dikuadratkan. Angka harapan hidup bisa turun mengingat obesitas adalah faktor risiko sejumlah penyakit, seperti diabetes, stroke, penyakit jantung, hipertensi, nyeri punggung bagian bawah dan depresi.
Namun, tak semua orang dengan berat badan berlebih butuh menjalani bedah bariatrik. Orang dengan obesitas dianjurkan menerapkan gaya hidup sehat lebih dulu secara disiplin, antara lain membatasi makanan dan meningkatkan aktivitas fisik. Jika semua upaya itu belum berhasil, operasi baru jadi pilihan dengan biaya Rp 80 juta - Rp 100 juta.
Syarat lain bedah itu adalah pasien berusia lebih dari 18 tahun dan stabil secara psikis. Selain itu, BMI pasien mencapai 32,5 kg per meter persegi. Efektivitas bedah bariatrik pada orang dengan BMI di bawah 32,5 kg per meter persegi tak jelas karena berat badan tak turun signifikan.
Metode bedah bariatrik antara lain gastric banding, gastric bypass, dan sleeve gastrectomy. Dalam gastric banding ukuran lambung dibatasi dengan menempatkan penyepit di bagian atas lambung untuk membatasi asupan nutrisi. Itu tak memengaruhi bentuk asal anatomi organ karena penyepit bisa dilepas.
Sementara gastric bypass dan sleeve gastrectomy mengubah bentuk organ secara secara permanen. Pada gastric bypass, dokter membuat jalan pintas dari lambung bagian atas ke usus halus bagian terakhir agar tak lewat usus dua belas jari. Adapun sleeve gastrectomy adalah metode baru bedah bariatrik, dengan membuang 85 persen bagian lambung sehingga tersisa tabung seukuran pisang.
Komorbiditas
Operasi bisa menurunkan berat badan pasien hingga 50 persen dari kelebihan berat badannya dalam 6 bulan hingga 1 tahun. Setelah operasi, pasien tetap harus disiplin menjalani pola hidup sehat. "Bedah bariatrik bukan peluru emas yang membuat pasien bisa makan sesukanya setelah operasi," ucap Peter.
Selain menekan risiko kesehatan, operasi menekan tingkat komorbiditas (penyakit penyerta) jika pasien obesitas terlanjur terkena penyakit akibat kegemukan. Pada pasien berkomorbiditas diabetes, misalnya penyakit itu bisa hilang dua pekan setelah operasi dengan gastric bypass, karena memacu produksi hormon Gllucagon-like peptide-1 dan peptide tyrosine-tyrosine. Dua hormon itu diproduksi di usus halus bagian terakhir, memicu produksi insulin.
okter spesiaalis konsultan endokrin-metabolik-diabetes pada RS Gading Pluit, Benny Santosa, menambahkan, upaya menekan diabetes penting karena telah jadi beban global. Pada 2025, diperkirakan ada 324 juta penyandang diabetes di dunia.
Menurut Peter, bedah bariatrik punya efek samping. Misalnya, setelah menjalani gastric bypass, pasien berkeringat dingin jika makan terlalu banyak. Dengan metode sleeve gastrectomy, pasien mual saat makan. (JOG)