Jangan Tunda Terapi Kanker Payudara
TIDAK menunda-menunda terapi merupakan salah satu kunci keberhasilan penanganan kanker, termasuk kanker payudara. Namun, di masyarakat Indonesia, keterlambatan pengobatan masih kerap terjadi.
Menurut dokter spesialis bedah onkologi dari RS Kanker Dharmais, Walta Gautama, penundaan itu bahkan kerap dimulai sejak seorang perempuan mengalami tanda-tanda yang mengarah pada gejala keganasan tersebut. Misalnya, ketika mendapati ada benjolan mencurigakan di payudara, bahkan kerup dimulai sjeak seorang permpan menglami tnagada-tna yang mengrha pada gjela keanasan tersebut. Misalnya, keitka mendpat ada benolan mencurigakan di payudara, banyak perempuan yang enggan memastikan lebih lanjut apakah benjolan itu kanker atau bukan. Mereka takut dan tidak siap jika nantinya hasil pemeriksaan membuktikan bahwa benjolan itu merupakan kanker.
"Padahal, berdasarkan data, 8 dari 10 benjolan yang ditemukan perempuan pada payudara tidak bersifat kanker," ujar Walta pada peringatan bulan peduli kanker payudara yang digelar PT. Kalbe Farma Tbk (Kalbe) melalui Kalbe Ethical Customer Care dan Indonesia Cancer Care Community di Jakarta, Minggu (18/10).
Karena itu, lanjutnya, bila mendapati benjolan jangan ragu untuk memeriksakan diri ke dokter untuk memastikan diagnosis. Kalaupun hasil pemeriksaan membuktikan benjolan yang dialami memang benar gejala kanker, seharusnya pasien bersyukur bahwa penyakitnya terdeteksi lebih cepat. Dengan demikian, penanganan pun bisa dilakukan lebih dini.
Namun faktanya, di titik tersebut penundaan juga kerap kembali terjadi. Menurut Walta, pada kasus kanker payudara masih banyak masyarakat yang lebih mengandalkan pengobatan alternatif dari pada terapi sesuai standar medis.
"Padahal, pada banyak kasus, pengobatan alternatif hanya membuat delay penanganan. Sering ditemui kanker yang awalnya sudah terdeteksi di stadium satu dicoba dengan pengobatan alternatif, tapi pasien kembali lagi berobat ke dokter dengan kondisi kanker yang sudah mencapai stadium tiga atau lebih," papar Walta.
Keberadaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menanggung biaya pengobatan pasien tidak serta merta menghilangkan kecenderungan masyarakat tersebut.
"Program BPJS kesehatan (pelaksana JKN) itu bagus sekali, tapi masyarakat malah sering berpikir 'ah nanti kalau ada apa-apa kan ada BPJS. Coba dulu saja yang alternatif."
Lebih lanjut Walta menerangkan timbulnya kanker payudara dipengaruhi sejumlah faktor. Antara lain, paparan terhadap hormon estrogen yang berlebihan. Pada kasus tersebut, faktor risikonya bisa dilihat antara lain dari menstruasi dini sebelum umur 12 tahun.
Selain itu, faktor genetik juga memegang peranan. Mereka yang mengalami mutasi pada gen BRCA-1 dan BRCA-2 atau mewarisi gen yang telah bermutasi itu berisiko mengalami kanker payudara dan ovarium.
"Karenanya kaum perempuan yang memiliki riwayat keluarga penderita kanker payudara dan ovarium sebaiknya lebih waspada. Lakukan deteksi dengan sadari (memeriksa payudara sendiri), meraba dengan seksama saat mandi, berbaring dan sambil bercermin untuk mendeteksi dini benjolan yang mungkin gejala kanker payudara." (*/H-3)