Atasi Gizi Buruk dengan Susu Kedelai

Penuhi kebutuhan gizi dari produk berbahan lokal. 

INGAT dengan istilah 'empat sehat, lima sempurna'? Namun, tingginya harga susu sapi formula membuat tidak semua golongan masyarakat bisa mengonsumsinya setiap hari. Padahal, protein yang terkandung dalam susu bisa memenuhi kebuttuhan gizi masyarakat Indonesia.

Salah satu cara agar kegiatan minum susu memasyarakat ialah dengan mengembangkan susu berbahan lokal. Pasalnya, sebagian besar susu yang beredar di masyarakat diimpor dari luar negeri.

"Susu kan sebagian besar impor sehingga harganya mahal," kata dosen Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Indyah Sulistya Utami kepada Media Indonesia di Yogyakarta, Rabu  (14/5).

Jika pemerintah bisa menyediakan susu berbahan lokal, kata Indyah, harga bisa ditekan sehingga masyarakat kurang mampu bisa membeli susu untuk memenuhi kebutuhan gizi.

Selaku peneliti, Indyah memutuskan mengembangkan susu berbahan lokal. Pada 2010, ia pun memutuskan memulai penelitiannya dengan menggunakan bahan susu kedelai fermentasi. Pemilihan susu kedelai disebabkan masyarakat Indonesia sudah familiar dan  mengonsumsi jenis susu itu. Selain itu, iklim tropis Indonesia cocok dengan tanaman kedelai dengan  varietas anjasmoro sehingga itu  bisa diproduksi dalam jumlah banyak dan tidak perlu mengimpornya.   

"Kedelai anjasmoro dipilih karena memiliki keunggulan tingkat langunya paling rendah," kata dia. 

Susu kedelai, lanjutnya, memang memiliki kelemahan, seperti rasa yang masih langu, protein yang belum terdegradasi, dan kandungan senyawa yang bisa membuat kembung. Namun, melalui proses fermentasi, kelemahan itu bisa dikurangi. 

"Kalau susu kedelai difermentasi, kelemahan yang ada itu bisa berkurang," kata dia saat ditemui di Laboratorium Gizi Fakultas Teknologi Pertanian.

Pembuatan susu kedelai dilakukan dengan cara mencampurkan fementasi susu kedelai dengan tepung beras. Semua diformulasikan dan dikeringkan dengan pengering semprot (spray dryer) hingga menjadi bubuk. Proses selanjutnya dikeringkan, bila tidak akan menjadi asam jika disimpan lama.  

Susu tersebut, ujar Indyah, diperuntukkan bagi balita yang sudah menginjak usia dua tahun dan sudah tidak mengonsumsi air susu ibu (ASI). Susu fermentasi kedelai itu bisa menjadi alternatif pengganti susu sapi. 

Secara komposisi, baik susu sapi maupun susu kedelai memiliki kandungan yang sama. Namun, susu kedelai fermentasi memiliki keunggulan, yakni tidak memiliki kandungan laktosa sehingga mereka yang alergi dan tidak tahan mengonsumsi laktosa bisa aman meminumnya.

Produksi massal

Penelitian Indyah yang disponsori PT Sari Husada itu memang sudah selesai pada 2012. Namun, hingga kini, itu belum diproduksi secara massal.  

"Untuk diproduksi massal tidak mudah membalikkan telapak tangan karena harus mempertimbangkan berbagai hal," kata dia. 

Indyah memperkirakan perusahaan itu masih memperhitungkan untung dan rugi untuk memproduksi massal susu tersebut.

Salah satu pertimbangan mereka ialah investasi bagi pengadaan pengering semprot dalam skala besar untuk produksi. Pasalnya, untuk penelitian itu, Indyah menggunakan pengering berukuran kecil yang tersedia di laboratorium.  

Selain itu, stok bahan baku harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan berkesinambungan. Guna mewujudkan itu diperlukan dukungan dari berbagai sektor lain khususnya pertanian.

"Kalau pemerintah memang berkepentingan menggalakkan itu, harusnya produksi susu kedelai fermentasi bisa dilakukan di dalam negeri dan tidak perlu impor," kata dia.

Besar harapannya, hasil penelitiannya tersebut bisa dikembangkan hingga bisa diproduksi massal. Dengan produksi massal dan masyarakat bisa mendapatkannya untuk dikonsumsi balita mereka, ia berharap dapat mengurangi penderita gizi buruk yang hingga kini masih ada. (M-5) 

ardi@mediaindonesia.com   

Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar