Mempertahankan Rasa Berdaya
Seorang perempuan pembaca mengeluh sangat cemas dan tegang dengan penghasilan yang pas-pasan untuk menghidupi tiga anak, dan pertengkarannya dengan suami umumnya menyangkut soal duit.
Menurut dia, suaminya terbiasa "enak" karena gaji istrilah yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, sementara ia masih pula dibebani tugas mengurus anak.
Ia menulis: "Entah apa karena pekerjaannya banyak di luar kota, jadi suami tahu beresnya saja baik soal uang maupun urus anak. Kalau dia pulang dan pas anak rewel, Ia mengeluh tidak bisa istirahat, lalu langsung pergi dengan teman-temannya. Karena saya yang berhadapan dengan persoalan sehari-hari soal susu anak, transport dan lain-lain, praktis keperluan sehari-hari keluar dari kantong saya. Uang dia disimpan untuk beli mobil baru."
Ibu muda tersebut mengeluh karena suaminya seperti " tidak berkesadaran" untuk langsung menyerahkan penghasilan setiap bulan, kecuali diminta untuk keperluan khusus. Bagi ibu ini mobil baru bukan hal penting, yang lebih diharapkan adalah kepedulian suami berbagi tanggung jawab memenuhi kebutuhan mendesak keluarga.
Seorang pembaca lain, laki-laki (40), berbagi pula mengenai krisis ekonomi dan dampaknya terhadap kehidupan berkeluarga.
"Yang paling sulit bila kita harus berjuang menghadapi situasi ekonomi yang tidak baik, dan ternyata hubungan dengan pasangan yang tidak baik.
"Misalnya teman saya ada yang bubaran dari hubungan dengan istrinya. Sahabat saya ini orang baik. Tetapi itu tidak cukup. Rupanya sejak kecil orangtuanya kurang mempersiapkan anak-anaknya dengan keterampilan, sikap kerja dan kedisiplinan. Dia tidak punya pekerjaan tetap dan pernah bilang kepada istrinya. " Kalau kamu ketemu orang baik yang lebih mampu secara ekonomi, aku tidak apa-apa kamu tinggalkan. Dan memang akhirnya mereka bercerai".
Tiga hal mendasar
Persoalan di atas tampaknya tidak asing bagi banyak dari kita. Pada kalangan kelas menengah ada beberapa hal mendasar yang perlu dikembangkan pada masa krisis ekonomi sekarang: (1). Pengencangan ikat pinggang dan pengelolaan keuangan yang dapat mengembangkan rasa aman. (2). Kerjasama yang saling menghormati dan menguatkan di antara pasangan, dan (3). Kemampuan tetap bervisi positif mengenai hidup.
Lebih lanjut, bapak dua anak ini berbagi tentang tiga hal tersebut. "Dengan inflasi, standar hidup kita sekeluarga turun. Harus dihadapi, terpaksa harus menurunkan tingkatan barang yang kita beli: sabun, odol, mobil, bensin, semua. Memang sangat sulit. Yang diprioritaskan pendidikan anak."
Menurut bapak tersebut, hal itu tidak mudah dan memang dapat memicu konflik dengan pasangan yang tidak selalu dapat mengerti dan berharap kondisi ekonomi keluarga menjadi jauh lebih baik. " Kadang lelah juga, istri saya lebih sulit menghadapi ini. Ia cukup sering mengeluh. "Kok standar hidup kita makin lama makin turun, bukannya membaik? Tetapi, mau bagaimana lagi."
Rupanya bila hanya istri atau suami yang harus menanggung pemenuhan kebutuhan keluarga, situasi menjadi berat. Karena itu perlu kerjasama saling menguatkan di antara pasangan. Bila istri menghasilkan uang, seyogyanya, ia juga berbagi. Sementara itu, tentu sangat berat bagi istri - dan tidak adil pula - bila suami taking for granted istrinya yang bekerja akan mengurus anak sekaligus membereskan kebutuhan ekonomi keluarga.
Visi positif
Mengenai pengelolaan diri dan visi positif ke depan, bapak yang baru pindah kerja ini berbagi. "Saya sudah 15 tahun di pekerjaan lama. Saya berpikir ke depan harus bagaimana karena bahkan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja - apalagi pendidikan yang baik bagi anak - sudah sulit dengan penghasilan yang sekian."
Ia melanjutkan, "Saya masih punya masa kerja 15 tahun. Jadi, kalau mau ada perubahan, saya berani melakukan tindakan ekstrem, maksudnya memulai suatu kerja baru. Sekolah lagi membuat saya bertemu dengan teman-teman baru, mereka sangat memengaruhi pola pikir saya. Mereka sangat memotivasi. Mereka bilang, "Kita jangan hanya di comfort zone. Nah saya memerhatikan mereka, mereka tidak pintar-pintar amat, biasa-biasa saja. Tetapi mereka sukses dengan posisi tinggi. Jadi, saya menyimpulkan keberhasilan tidak tergantung kita cerdas atau tidak, tetapi tergantung kerja keras dan keseriusan.
Bila kita masih memiliki kemampuan dan kesempatan menekuni pekerjaan baru yang lebih baik, tentu situasinya perlu disyukuri. Tetapi, bagaimana bila tidak? Bukankah kini justru banyak terjadi PHK, bahkan orang-orang muda berpendidikan banyak yang sulit mencari kerja?
"Saya kasihan kepada orang yang tidak mampu, tidak dapat berpindah pekerjaan karena situasi tidak memungkinkan atau tidak ada kesempatan. Sampai sekecil apa harus merampingkan perut? Mungkin mereka akan mampu menyediakan makan bayi anak-anaknya, tetapi menyediakan pendidikan yang baik?"
Meski keadaan sangat sulit, mungkin pasangan dapat berdiskusi bagaimana mencoba mencari tambahan penghasilan. Bila istri tidak bekerja formal, mungkin dapat berjualan nasi bungkus, menjadi penerjemah lepas, atau melakukan kegiatan lain untuk menambah pendapatan.
Pasangan perlu menyadari untuk ini harus ada yang dikorbankan. Misalnya, waktu istri mengurus anak dan keluarga jadi berkurang, dan suami diharapkan lebih ringan tangan mengasuh anak dan mengurus rumah. Bila ada kerjasama saling menghormati dan menguatkan, semoga kesulitan-kesulitan dalam keluarga dapat diatasi.
Kristi Poerwandari, Psikolog