Tidak Ada Apa-Apa, Kok, Cemas Terus?

Cemas itu wajar saja. Tapi kalau sampai berlebihan, hati-hati.

Rasa cemas memang hal yang wajar, terutama jika kita berada dalam kondisi tertentu yang menakutkan. Misalnya saja menghadapi pandemi ini, wajar bila kita khawatir tertular atau cemas anak-anak terjangkit.

Tapi rasa cemas ini jadi tidak wajar bila sampai memicu tubuh mengeluarkan respon berlebihan. Seperti apa, ya? 

Punya Gejala Tak Biasa

Kerja otak kita diibaratkan seperti garis lurus di mana titik tengah menunjukkan masa sekarang, sisi kiri adalah masa lalu, dan sisi kanan adalah masa mendatang. Nah, kadang kala isi pikiran kita suka lompat dan bermain ke periode masa depan atau mundur ke periode masa lalu.

Menurut Roslina Verauli, M.Psi., Psi., psikolog klinis anak, remaja, dan keluarga, ketika isi pikiran lari, maka perasaan dan aksi akan mengikuti. ya, ketiga hal tersebut berhubungan seperti segitiga. Isi pikiran akan selalu selaras dengan  apa yang dirasakan, apa yang dirasakan akan selalu selaras dengan apa yang dipikirkan dan dilakukan.

"Sebetulnya, pikiran, aksi-aksi, dan emosi kita sering kongruen (sebangun, red.) dan ini ciri orang sehat. Misalnya, kita khawatir, nanti kalau aku sakit gimana? Lalu kita cemas, kemudian kita melakukan sesuatu untuk tubuh kita agar tidak sakit. Nah, yang jadi masalah adalah jika isi pikiran tersebut berulang-ulang kejauhan, engak bisa dikendalikan dan emosinya meluap-luap berlebihan," ujar Roslina Verauli dalam sesi #CurhatVerauliFansBerdamaidenganKecemasan, di Istagram Live bersama Meira Anastasia beberapa waktu lalu.

Kalau sudah sampai meluap-luap berlebihan, kondisi ini disebut sebagai penyakit gangguan kecemasan atau anxiety disorder. Kecemasan tidak mampu dikendalikan dan malah menjadi makin rumit hingga membuat gelisah. Gejala bisa muncul dalam bentuk pikiran-pikiran berulang yang  menimbulkan ketakutan, hati berdebar-debar setiap malam, kaki dan tangan terasa sangat dingin, sesak napas, sukar tidur, dan terkadang memicu serangan panik. Parahnya, gangguan kecemasan bisa mengganggu aktivitas kita. Misalnya tak bisa mengurus anak-anak dan pasangan karena terlalu cemas, tidak mampu fokus pada pekerjaan, atau bukan tak mungkin enggak sanggup keluar rumah.

"Jadi, catatannya, kapan kecemasan normal dan enggak normal adalah ketika fungsi-fungsi kita, kemampuan kita menjalani kehidupan sehari-hari menjadi terhambat. Itu baru dikatakan enggak normal," jelas Verauli tegas.   

Cari Tahu Pemicu

Saat kita merasa cemas, pertama-tama kita perlu memahami situasi yang memicu kecemasan itu muncul. Kadang-kadang saat kecemasan datang kita emosional berlebihan, sehingga tidak paham kapan kecemasan biasa muncul dan dianggap random pada segala situasi. Padahal tidak.

Maka itu, kita harus terbiasa melatih diri untuk rasional demi mengetahui pemicu kecemasan dan bisa mengambil tindakan untuk mengatasinya. Latihan ini berpusat pada konsep here and now atau "di sini, kini". Seperti meditasi atau mindfulness. Hal ini juga bisa melatih mengembalikan pikiran kita yang sudah jauh lari dan melompat tadi. "Biasanya saat orang lagi cemas, maka yang menguasai lebih besar adalah emosinya. Sehingga kita gagal menggunakan rasio bahwa sebetulnya yang terjadi di dunia nyata ini terkendali, kok. Jadi, saat kecemasn muncul, ada respon badan yang berlebihan, maka itu kita perlu latihan untuk mengendalikannya," jelas Verauli. 

Tapi, jika tidak bisa menangani sendiri dan sangat mengganggu aktivitas Anda, maka segeralah cari bantuan pakar. Jika kecemasan dipicu karena masalah psikologi, psikososial, dan berulang atau karena trauma masa lalu, Anda bisa ke psikolog klinis di rumah sakit terdekat.

Maria Ermilinda Hayon 


Postingan populer dari blog ini

Awet Muda: Tubuh Bugar