Menghidupkan Orang Mati, Mungkinkah?
DALAM buku Lazarus Effect terdapat satu kisah tentang gadis Jepang yang berhasil hidup kembali setelah meninggal selama lebih dari 3 jam. Gadis itu masih hidup, bahkan melahirkan anak.
Kematian dipercaya sebagai rahasia Tuhan yang tidak pernah diketahui makhluk-Nya. Namun, para peneliti kini terus mempelajari proses yang memengaruhi kematian sehingga, bila mungkin, dapat menginterupsi proses tersebut.
Sebuah studi terbaru yang telah dipublikasikan dalam jurnal PLOS Biology mengungkap bahwa kematian pada organisme, termasuk manusia, menyebar seperti gelombang dari satu sel ke sel lain sampai organisme itu mati dan terjadi lebih lambat daripada yang diduga.
Sam Parnia, dokter di New York, Amerika Serikat, April lalu, mengaku bisa menghidupkan kembali pasien yang baru meninggal dalam hitungan jam.
Menurut Parnia, kebanyakan rumah sakit terlalu cepat menyerah pada pasien yang sudah tak memiliki detak jantung. Dia juga mengklaim rumah sakit masih menggunakan teknik lama yang sebernarnya dokter bisa mengusahakan agar seseorang kembali hidup setelah detak jantungnya berhenti. Dengan cara tersebut, sekitar 40 ribu nyawa di Amerika Serikat sebenarnya bisa diselamatkan.
Para ilmuwan kemudian menggagas pertemuan di New York Academy of Science, menghadirkan Dr. Sam Parnia dari State University of New York di Stony Brook, Stephan Meyer dari Columbia University, dan Lance Becker dari University of Pennsylvania.
Dalam pertemuan itu dibahas bahwa kunci penyadaran kembali atau resisutasi pada orang yang baru saja meninggal ialah proses hipotermia atau pendinginan tubuh dan pengurangan suplai oksigen.
Dalam pandangan baru, kematian tidak dianggap sebagai peristiwa yang terjadi secara serentak di semua bagian tubuh, tetapi sebagai proses bertahap. Saat detak jantung dan napas individu terhenti, sel individu sebenarnya masih hidup.
Kematian otak, kiranya bisa dikatakan demikian, baru terjadi ketika sel-sel otak kekurangan oksigen akibat terhentinya jantung dan napas sehingga rusak dan mengirim sinyal bagi sel-sel lain menjelang saat kematian.
Seperti diberitakan Huffington Post, Senin (21/10) kunci penyadaran kembali tanpa merusak jaringan otak salah satunya ialah hipotermia, yakni tubuh didinginkan beberapa derajat lebih rendah daripada suhu normalnya, yaitu 37 derajat celsius.
Kemudian, setelah prosedur hipotermia dan jantung bekerja, kunci lainnya ialah menjaga suplai oksigen. Suplai oksigen yang tiba-tiba besar justru akan berdampak negatif karena akan merusak jaringan otak.
Tentang suplai oksigen, Parnia memutuskan, suplai harus diatur dengan mesin agar jumlah oksigen yang dialirkan sesuai yang dibutuhkan.
Sementara itu, Becker menuturkan, upaya penyadaran tidak selalu bisa dilakukan di setiap kasus. Namun, sekali dokter memutuskan, dokter harus menerapkan semua metode yang mungkin bisa dilakukan.
(PLOS Biology/Huffington Post/L-1)